Menemukanmu seperti
menemukan oase di tengah padang pasir tandus,
Lebur segala dahaga
penantian tak berujung
Menemukanmu seperti
menengadah memandang aurora di langit kutub utara,
Luruh segala dingin yang
menggigit sendi-sendi raga.
Garis-garis perjalanan yang
kau lalui, dan yang ku lalui berpotongan di satu titik yang tak terduga, di
suatu waktu yang paling bijak bagi-Nya untuk mengijabah doa-doaku yang kian
terasa mustahil
Kau tertawa, Kau
tersenyum, Kau berekspresi, begitu nyata.
Tapi aku tak ubahnya hantu
kasat mata yang tetap tak mampu kau tangkap dalam gelombang manusiamu. Keberadaanku
hampa, tak beraura.
Menemukanmu. Bukankah ini
cukup? Aku tak pantas meminta lebih.
Kau masih dengan mata
kanak-kanak yang sama, mata yang senantiasa dinaungi bulumata luarbiasa lentik,
tapi kutahu kau demikian mendewasa.
Betapa manusiawinya
gerak-gerikmu, Gesturmu. Kau lagi-lagi tersenyum, kau lagi-lagi tertawa
Di tengah keramaian dan
hiruk pikuk ini, aku hanya mampu menatap sekejab, untuk sekedar mengabadikan
moment, mengkristalkan rasa, agar nanti setelahnya tak ada yang patut kusesali.
Karena mungkin saja,
setelah ini, tak akan ada pertemuan-pertemuan lagi, garis kita tak lagi
berpotongan.
Kita menginjak lantai yang
sama, terpaut jarak tak lebih lima meter,
Tapi mengapa aku merasa
kau terlampau jauh?,
Aku bahkan tak mampu
bertelepati seperti yang kuharapkan jika kita bertemu
Bertelepati? konyol dan
berlebihan. Untuk itu, aku harus lebih dulu menyamakan kasta. Kau dan aku
selalu terasa dalam dimensi yang berbeda.
Kau masih pria dongeng
yang sama, yang hadir sekelebat kemudian menghilang secepat kilat sehingga
semua yang ada dalam anganku hanya tinggal wacana.
Mungkin adalah tabu
menatapmu demikian lama. Semakin lekat kutatap semakin lebar jurang pemisah menganga.
Semakin lekat kutatap, semakin tinggi singgasanamu mencuat. Aku tahu, aku selalu
berada pada titik yang tak mampu meraih.
Bolehkah aku merasa lega? Melihatmu
baik-baik saja. Bahwa kau mampu tertawa dan bahagia?
Menyadari ini semua,
betapa gila aku mencinta, hingga kabur terasa sekat-sekat rasionalitas dan
fantasi. Betapa sempurna aku menjadi bodoh. Betapa keterlaluan perasaan ini
menyiksa.
Lantas apa yang kumampu?
Riak-riak tak terduga
selalu datang tanpa petanda
Berubah menjadi badai,
menggetarkan palung hati sehingga remah-remah pengharapan mencuat ke permukaan
Menemukanmu,
Ingin membuatku segera
terbangun dari mimpi
Karena jauh sudah hatiku
tersesat
Arah pulang menjadi ambigu
Menemukanmu…
17
Mei 2015
Di
keramaian pesta