Selamat Malam Cyber World,
Bloging lagi nih,
Belakangan saya merasa terperangkap dalam gelembung kasat mata saya (istilah diri sendiri ^_^) dan mendadak berubah menjadi diri yang nggak saya sukai. Deadline tugas kuliah, ngelamun, nulis, membaca, semua menjadi rutinitas yang membosankan, padahal selama ini saya tidak terlalu perduli.
Masalah lain kemudian muncul, yakni radang gusi yang sebulanan ini menyiksa dan mengganggu tidur nyenyak saya. Inisiatif teman untuk pembelahan gusi ke dokter gigi pun saya jabanin, tapi menurut sang dentist ternyata saya nggak bisa mangap lebar-lebar karena rahang saya bermasalah. Dasar penyakit, emang adaaaa aja, bukan cuma menyiksa diri tapi juga menyiksa kocek saya.
Treatment khusus pun saya lakukan berdasarkan saran dokter untuk menormalkan rahang yang bermasalah, tapi setelah menjalani treatment tersebut, mendadak saya malah terserang migrain. belum selesai satu, penyakit lain malah datang. Memang terkadang ketika penyakit datang, kita begitu merindukan kesehatan yang ternyata harganya mahal sekali. sekarang yang mesti diperbuat adalah hati-hati untuk semua hal termasuk menjaga kesehatan.
Yaap Cyber world, cukuplah kiranya prolog postingan kali ini yang menjurus ke sesi curhat dulu. Maksud hati sih berbagi soal lain. postingan ini merupakan tugas akhir mata kuliah sosiologi perkotaan saya.
Semoga bermanfaat.
BAB I
PENGANTAR
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dalam
memahami organisasi struktur keruangan wilayah perkotaan perlu diketahui paling
tidak dua komponen dasar pembentuknya yaitu pola penyebaran penduduk dan pola
penyebaran pembangunan kesejahteraan. Pola penyebaran penduduk merupakan salah satu indikasi penyebaran konsentrasi
penduduk, manusia sebagai pemegang peran penting dalam perubahan dimensi
spasial perkotaan, khususnya dalam aspek nonfisik kota. Sedangkan pola
penyebaran kesejahteraan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
pembangunan ekonomi kota. Pemahaman spasial kota
membantu seseorang untuk dapat melihat potensi kota
yang dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi pengembangan kota di masa depan, termasuk pembangunan
manusianya.
Kombinasi
kedua komponen tersebut membentuk suatu struktur organisasi keruangan kota yang
kompleks yang memberi arti tertentu bagi penampilan spasial kota. Pembangunan
kota yang berpola tidak menentu, baik dalam skala besar maupun mikro ditandai pola pendapatan tentunya akan cenderung
menunjukan struktur pola yang lebih variatif tidak beraturan. Pola
ketidakberaturan distribusi pendapatan ditunjukkan dalam ranah pola pendapatan
tinggi hingga rendah. Pada wilayah yang memiliki distribusi pendapatan rendah
akan cenderung membentuk pola pemukiman kumuh (slum settlement) dan pemukiman
liar (squatter settlement) yang biasanya dihuni penduduk yang bekerja di sector
informal seperti buruh dan pedagang
kecil bahkan pengangguran. Bertolakbelakang
dengan pola pemukiman diatas, penduduk berpendapatan tinggi memilih hunian
berkelas atau elite dan membentuk sebuah komunitas berdasarkan hunian pilihan
tersebut. Komunitas ini biasanya disebut dengan komunitas berpagar (Gated
Community).
Mengkaji
masalah pemukiman di kota-kota besar terutama perkotaan yang ada di
Negara-negara sedang berkembang, pikiran kita tidak pernah terlepas dari
masalah-masalah yang muncul sebagai implikasi dari kedua jenis pemukiman yang
telah disebutkan diatas. Negara-negara sedang berkembang saat ini tengah
berbenah mengurus masalah tata ruang kota mengingat semakin maraknya urbanisasi
besar-besaran masyarakat desa ke kota. Populasi penduduk di wilayah perkotaan
mau tidak mau meningkat tajam diikuti pula dengan peningkatan jumlah pemukiman
sebagai sarana tempat tinggal. Problematika yang selanjutnya muncul adalah
bahwa ketersediaan pemukiman yang tidak merata. Tidak semua warga kota dapat
memperoleh pemukiman yang layak sehingga muncullah pemukiman-pemukiman kumuh
dan liar di tempat tertentu di kota. Pemukiman kumuh (slum area) dan pemukiman
liar tersebut jumlahnya semakin lama semakin meningkat dalam mengisi
kantong-kantong tertentu di wilayah perkotaan.
Seiring
dengan pertumbuhan pemukiman kumuh di perkotaan Negara-negara sedang
berkembang, fenomena berbanding terbalik dengan hal tersebut berkembang juga di
perkotaan. Pembangunan komplek perumahan mewah semakin marak pula pertumbuhannya. Hunian masyarakat kelas
menengah atas yang jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan pemukiman kumuh
ini turut pula menyumbang masalah dan dampak sosial di tengah-tengah masyarakat
kota.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun
beberapa rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
- Apa
yang dimaksud dengan pemukiman?
- Apa
yang dimaksud dengan pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar
serta seluk beluknya di perkotaan?
- Bagaimana
bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai indikasi pemukiman layak
huni?
- Bagaimana
pengamatan terhadap pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar di
kota medan?
1.3 Tujuan
Adapun yang menjdi tujuan
penyusunan makalah ini adalah :
·
Untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan
dengan pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar khususnya di kota medan
·
Untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah
sosiologi perkotaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pemukiman
Pemukiman
sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing
dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement
yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan
rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya. Perumahan menitiberatkan pada
fisik atabenda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan
pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim
beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman
menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati
yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya,
pada hakekatnya saling melengkapi.
2.2 Pengertian Pemukiman Kumuh
Istilah
permukiman kumuh (slum settlement) sering dicampuradukkan dengan istilah
permukian liar (squatter settlement). Pada dasarnya pemukim liar dimaksudkan
sebagai orang yang menghuni suatu lahan yang bukan miliknya dan haknya, atau
tanpa ijin dari pemiliknya. Pengertian permukiman liar ini mengacu pada
legalitas, baik itu legalitas kepemilikan lahan/tanah, penghunian atau
pemukiman, serta pengadaan sarana dan prasarananya. Permukiman liar ini
mempunyai sejumlah nama lain diantaranya adalah permukiman informal (informal
settlement) permukiman tidak resmi (unauthorized settlement), permukiman
spontan (spontaneous settlement) dan permukiman yang tidak terencana atau tidak
terkontrol. Sedangkan istilah permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan
hunian atau komunitas. Permukiman kumuh
diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami
penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated) baik secara fisik, sosial
ekonomi maupun sosial budaya, sehingga tidak memungkinkan dicapainya kehidupan
yang layak bagi penghuninya.
Pada
umumnya permukiman kumuh ditandai dengan tingkat kepadatan penduduk, kepadatan
hunian, serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi, diikuti dengan kualitas
rumah sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar
seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas
pendidikan, ruang terbuka/rekreasi/sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, perbelanjaan
dan sebagainya. Selain itu juga diwarnai oleh tingkat pendapatan penghuni,
tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan yang sangat rendah serta tidak
terjaganya privasi masing-masing keluarga.
Kumuh
atau slum adalah permukiman atau perumahan orang-orang miskin kota yang
berpenduduk padat, terdapat di pinggir-pinggir jalan atau lorong-lorong yang
kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan. Selain itu, permukiman
kumuh dianggap sebagai tempat anggota masyarakat kota yang mayoritas berpenghasilan
rendah dengan membentuk permukiman tempat tinggal dalam kondisi minim.
Charter
Adam (1984) menamakan permukiman di lingkungan kumuh sebagai kampung gembel
dengan ciri bangunan liar di atas tanah yang tidak sah. Menurut E.E. Bergel
(1970) permukiman kumuh disebutnya sebagai daerah slum yang bukan saja dari
segi fisik tetapi juga dari segi sosial. Sedangkan Soemadi (1990) menyatakan
perkampungan kumuh adalah bagian dari kota yang jorok, bangunan-bangunan yang
tidak memenuhi syarat dan kesehatan serta didiami oleh orang miskin dengan
fasilitas tempat pembuangan sampah, maupun fasilitas air bersih tidak memenuhi
syarat kesehatan.
Menurut
UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman : Permukiman
Kumuh adalah Permukiman tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat
tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit
lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan
yang memadai, serta membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR.
Parsudi Suparlan ciri-cri pemukiman kumuh adalah :
1.
Fasilitas
umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2.
Kondisi
hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruanganya mencerminkan
penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3.
Adanya
tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang
yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4.
Pemukiman
kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri
dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :
§ Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah
milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
§ Satuan komuniti tunggal yang merupakan
bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.
§ Sebuah satuan komuniti tunggal yang
terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan,
dan bukan hunian liar.
§ Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan
ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat
kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat
pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
§ Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh
adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian
tambahan di sektor informil.
Sedangkan perumahan tidak layak huni adalah kondisi
dimana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk
tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial, dengan kriteria
antara lain:
§ Luas lantai perkapita, di kota kurang dari
4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2.
§ Jenis atap rumah terbuat dari daun dan
lainnya.
§ Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman
bambu yang belum diproses.
§ Jenis
lantai tanah
§ Tidak
mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK)
Dilihat
dari beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa pemukiman kumuh adalah
suatu daerah slum area yang tidak layak huni, tidak memenuhi syarat kesehatan,
dengan kondisi lingkungan permukiman tanpa sanitasi, dimana utilitas permukiman
tanpa pengelolaan yang baik, bangunan yang relatif kecil, berdempet-dempetan,
fasilitas permukiman sangat kurang, kualitas bangunan rendah dan bersifat
kotemporer atau darurat. Untuk itu kajian penanganan permasalahan kumuh
tersebut harus menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama dalam rangka membangun
kualitas hunian layak dan peningkatan kesejahteraan ekonomi.
2.3 Pemukiman Komunitas Berpagar
Komunitas berpagar (gated
community), adalah sebutan untuk
kelompok masyarakat berkelas yang menghuni pemukiman jenis ini. Komunitas
berpagar menyebabkan lahirnya sebuah komunitas dari masyarakat yang
terkotak-kotak melalui life sytle, kemewahan, prestise dan penuh dengan
manipulasi simbol. Komunitas Berpagar (Gated Community), merupakan
sebuah komunitas hunian eksklusif, komunitas permukiman cluster yang
menciptakan batas ruang dalam masyarakat, baik batas secara fisik seperti
tembok besar yang mengelilingi perumahan – perumahan eksklusif/elite maupun
batas secara non-fisik seperti etnisitas dan agama.
Pertumbuhan akan
perumahan-perumahan elite yang kadang kala disebut dengan komunitas berpagar
telah banyak muncul dan menjadi primadona baru pilihan bertempat tinggal bagi
kaum-kaum high class. Pilihan tempat
tinggal yang memberikan berbagai penawaran fasilitas terlengkap layaknya sebuah
hunian seperti “surga dalam sebuah pulau”, di mana berbagai hal yang ditawarkan
mulai dari keterjangkauan akses yang mudah mencapai tempat kerja atau pusat
keramaian; satu kawasan yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti taman
bermain, sarana rekreasi, jaminan keamanan super ketat, shopping mall, rumah
sakit, sekolah mulai taman kanak-kanak sampai sekolah menengah bahkan
universitas, sarana olahraga dan sebagainya. Semua fasilitas yang
terkonsentrasi pada satu kawasan ini memberikan angin surga, di mana semua
pemenuhan kebutuhan tersedia ada tanpa harus berpergian jauh dari tempat
tinggal.
Perumahan-perumahan elite
yang eksklusif atau perumahan kelas menengah atas ini telah menjadi sebuah
persoalan dari dinamika masyarakat khususnya ketimpangan ekonomi yang tajam,
struktur hierarki kelas yang jelas antara kaya dan miskin, suplemen perangsang
terciptanya kesenjangan sosial maupun potensi konflik. Dampak nyata dari
menjamurnya perumahan-perumahan demikian memberikan penekanan dari sebuah
dimensi masalah sosial yang dapat menggambarkan ketimpangan antara penghuni
dari perumahan
gated community ini dengan lingkungan sekitar di daerah
kawasan perumahan
Tambahkan komentar
Gated Community
merupakan salah satu life style kelompok-kelompok kelas menengah ke
atas, di mana sebuah komunitas masyarakat yang eksklusif layaknya kompleks
perumahan mewah yang di kelilingan tembok-tembok besar atau yang disebut dengan
pagar. Pagar yang biasanya menjadi batas kepemilikan lahan milik individual,
kini justru menjadi pemisah lahan tempat komunitas tertentu dengan lingkungan
sekitarnya. Pagar yang memberikan penekanan pengkotak-kotakan antara komunitas
yang di dalam pagar (penghuni gated community) dengan masyarakat di luar
pagar layaknya pemukiman-pemukiman biasa atau perkampungan disekitarnya.
Merebaknya komunitas
masyarakat pagar, seperti perumahan-perumahan elit dengan tembok tinggi dan
terkesan tertutup, akan menciptakan kecemburuan sosial dengan masyarakat di
luar perumahan. Problem sosial kota-kota di akan semakin berat dan memberikan
peluang makin terbukanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta
terciptanya masalah-masalah baru di perkotaan.
Komunitas berpagar dari
perumahan-perumahan elite yang dikembangkan oleh kapitalis developer perumahan
itu menawarkan sesuatu layaknya ilusi. Komunitas ini dimanjakan dengan
bertempat tinggal di perumahan itu layaknya tinggal di eropa, dengan pemberian
nama-nama daerah di eropa yang indah pada nama perumahan layaknya perumahan
bernama villa Catalunya, Amsterdam, Paris dan sebagainya. Ilusi –
ilusi itu sengaja dimodifikasi untuk memberikan khayalan fiktif dengan
menempati perumahan itu akan serasa tinggal di sebuah daerah dataran Eropa.
Pihak-pihak pengembang (developer)
sengaja memberikan ilusi demikian agar target pasar dari pemilik capital
dapat segera tercapai. Tawaran-tawaran fasilitas lengkap dan mewah ini
memberikan hak eksklusif dari pemilik rumah untuk dapat memanfaatkan fasilitas
ini, di mana fasilitas ini hanya menjadi ruang privat dari pemukim perumahan
dalam pagar dan tidak memberikan hak yang sama kepada pemukim di luar pagar.
Intinya pihak pengembang telah memodifikasi sekaligus memanipulasi nilai hunian
tempat tinggal ini bukan hanya sebagai tempat bermukim tetapi menawarkan tempat
tinggal yang penuh akan simbol prestise dan kemewahan dari pemilik rumah
sebagai cerminan masyarakat modern. Dengan demikian, pihak pengembang lebih berorientasi
kepada profit semata tanpa memaknai dampak sosial yang akan ditimbulkan.
Munculnya komunitas ini
jelas akan merangsang merebaknya masalah
sosial yang mendorong dan merusak sistem sosial. seperti halnya menciptakan
jurang kesenjangan antara pemukim di dalam pagar dan di luar pagar; pagar fisik
ini menegaskan batas dari sebuah komunitas yang menciptakan kelompok yang kaya
dan kelompok yang miskin, yang
jelas-jelas memberikan efek jangka panjang kesenjangan sosial secara ekonomi. Pagar
fisik juga memberikan penegasan batasan interaksi yang melambangkan bahwasanya
masyarakat di luar dari pagar adalah kelompok asing yang berbeda kelas dan
statusnya. Selain itu, aktivitas-aktivitas di dalam kawasan berpagar atau perumahan elite ini terkesan longgar dari
kontrol sosial lingkungan sehingga dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang
tidak dikehendaki seperti tindak kriminal atau kejahatan. Karena pada dasarnya jaminan
keamanan kawasan berpagar ini hanya bertujuan mengawasi orang asing yang masuk
bukan sebagai pengontrol aktivitas di dalamnya. Kawasan berpagar atau perumahan
mewah ini tidak akan menciptakan lingkungan sosial yang ramah akan
interaksi bertetangga karena eksklusifitas yang ditawarkan adalah terjaminnya
privasi dari pemilik rumah sehingga dapat menurunkan kualitas dari sebuah
interaksi lingkungan sosial tempat tinggal. Dunia yang tercipta di dalam
kawasan pemukiman mewah ini telah memberikan garis batas untuk tidak
berhubungan dengan dunia di luar pemukiman karena segala fasilitas baik sarana
dan prasarana telah tercukupi di dalamnya. Disamping itu, terciptanya
batas-batas yang tidak hanya fisik tetapi non-fisik seperti perumahan-perumahan
yang terpolarisasi dengan agama maupun etnis misalnya perumahan islam,
perumahan kristen, perumahan batak, cina, jawa, bugis dan sebagainya sehingga
dapat menimbulkan potensi konflik secara horizontal karena mudah untuk teridentifikasi.
Menjamurnya perumahan gated
community sebenarnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah local dan
pusat yang memberikan akses perizinan kepada developer untuk membangun
pemukiman sebagai upaya pendukung dari program pemerintah yang
berkerjasama dengan pihak swasta membangun perumahan dalam rangka kesejahteraan
rakyat. Namun, pihak developer tidak lagi mempertimbangkan sisi proses sosial
dari sebuah pemukiman, di mana ketika pelimpahannya diserahkan kepada pasar
atau pihak swasta maka hal ini akan menjadi wilayah kepentingan pemilik modal
untuk membangun perumahan yang dapat menguntungkan seperti perumahan mewah yang
berakibat munculnya komunitas berpagar sehingga aksesbilitas hanya kepada kaum
berkelas saja dan semakin memarginalkan masyarakat dengan ekonomi pas-pasan
dalam mencari pemukiman. Pihak pengembang hanya memfasilitasi kepentingan dari masyarakat
yang memiliki banyak uang. Maka tidak heran jika pemukiman-pemukiman yang
dibangun hanya menjadi ajang eksklusifitas kelas menengah keatas yang menciptakan
jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Terlebih dari itu masih akan
ada dampak sosial yang panjang, di mana perumahan gated community yang
dinilai dari segi ekonomis dan fisiknya memberikan peluang potensi-potensi
kesenjangan sosial, tindakan kriminal, konflik sosial horizontal, penggusuran
dan menumbuhkan sifat individualistik dari sebuah komunitas, sehingga nilai
kolektifitas tidak menjadi corak dari pemukiman yang dulu sangat tampak kental.
Pengaruh ini mustahil dapat dihilangkan secara instan, hanya saja jika semua
pihak memiliki kemauan untuk meminimalisir dampak sosial yang ditimbulkan. Pemerintah,
aparat setempat dan masyarakat lokal serta penghuni gated community berkenan
membuka diri dan menerima perbedaan melalui kegiatan-kegiatan kebersamaan
layaknya gotong-royong dengan mengedepankan konsensus agar keberagaman latar
belakang sosial, budaya, dan ekonomi dapat terintegrasi hidup bersama
tanpa memandang adanya perbedaan.
2.4
Ketersediaan Fasilitas Sebagai indikasi Pemukiman Layak Huni
Suatu
pemukiman dapat dikatakan layak jika
memenuhi standart yang sudah ditetapkan. Namun, ada kalanya ketetapan standatr
dari berbagai badan yang berkaitan maupun pemerintah berbeda-beda. Pada
umumnya, dalam hunian layak terdapat fasilitas-fasilitas meliputi penyediaan air
bersih, penyaluran air kotor, sanitasi,
pembuangan limbah padat, drainase dan jalan lingkungan. Penggunaan air
bersih diperlukan terutama dalam aktivitas memasak, mencuci, mandi dengan jumlah kurang-lebih 60 liter per orang
per hari. Penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan oleh pihak
pemerintah/swasta berupa sambungan langsung ke rumah atau keran umum. Bagi
pemukiman di luar daerah pelayanan dapat menggunakan sumur air tanah dangkal.
Masalah sanitasi air ini berpengaruh terhadap dampak kesehatan seperti penyakit
kulit dan perut. Di sisi lain, air kotor diartikan sebagai buangan rumah tangga
dan tinja. Penyaluran dapat melalui saluran kota ke instalasi pengolahan air limbah atau
diolah secara individual dengan system cubluk atau septic tank. Ketiadaan
fasilitas pengolahan air kotor ini dapat
menimbulkan masalah kesehatan seperti penyakit perut.
Limbah padat biasanya berupa sampah rumah tangga terutama yang berasal dari kegiatan dapur. Bahan
organik cukup dominan jumlahnya dalam sampah, sehingga bentuk sampah umumnya
basah dengan sifat membusuk. Penanganan sampah ini harus dilakukan secara rutin agar tidak
menimbulkan lingkungan kotor, bau tidak sedap dan tentu saja penyakit.
Disamping itu fasilitas drainase juga mutlak tersedia dalam suatu pemukiman,
karena tingkat penyerapan air hujan oleh tanak di kota relative kecil. Jika
drainase ini tidak ada akan menimbulkan lingkungan becek dan dipastikan akan
terjadi banjir, jika hujan terus-menerus datang. Dan terakhir, Jalan lingkungan
sangat dibutuhkan sebagai sarana hubungan lokal antar warga masyarakat. Selain
itu penting sebagai penghubung dengan daerah luar.
Semakin
kompleksnya pengaturan masalah pemukiman di perkotaan, memunculkan standart
baku lainnya berupa fasilitas lainnya demi memenuhi kritetia sebagai hunian
layak. Selain fasilitas pembuangan dan akses air bersih, yang perlu dimiliki
demi kejelasan sebuah pemukiman ialah kepastian akan hak penguasaan lahan
berupa surat peryataan dan bukti sertifikat atau dokumen kepemilikan lainnya,
sehingga dapat diketahui kejelasan kepemilikan lahan dan mencegah sengketa.
Selain itu, pemukiman layak ditandai pula dengan adanya kejelasan ketahan rumah
atau pemukiman. Dari indicator tersebut, dapat diketahui bagaimana struktur
rumah, lokasi rumah dibangun dan material bangunan yang digunakan. Pemukiman
atau hunian yang layak harus memiliki struktur yang sudah permanen, lokasi yang
nyaman dan akses ke lingkungan luar yang lancar serta dibangun dengan menggunakan bahan bangunan
dan material yang berkualitas baik.
2.5 Hasil Pengamatan dan Wawancara di Kawasan
Pemukiman Kumuh dan Pemukiman Berpagar di kota Medan
- Pemukiman Kumuh di kota Medan
Medan
sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia masih memiliki banyak masalah dalam penataan penduduk ruang
kota. Hal ini terlihat dari
banyaknya wilayah pemukiman kumuh
yang tersebar di wilayah kota Medan
sebanyak 145 titik pemukiman kumuh. Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan, saat ini, rumah yang berdiam di
kawasan itu mencapai 88.166 unit rumah atau sekitar 17 persen dari 503.000
lebih rumah di kota Medan. Pemukiman kumuh ini terdapat di Kelurahan Tegal Sari
Mandala I dan II, Kelurahan Binjai Medan Denai, Kelurahan Bahari Medan Belawan,
Kelurahan Aur Medan Maimoon, Kampung Madras Kecamatan Medan Petisah dan
lain-lain.
Pada
umumnya kawasan pemukiman kumuh ini berada di bantaran sungai dan pinggiran rel
kereta api. Penanganan masalah ini telah diagendakan tiap tahunnya oleh dinas
pemukiman dan perumahan seperti perbaikan infrastruktur, penataan lingkungan,
pengadaan air bersih dan pembuatan drainase, akan tetapi tampak kurang optimal
karena keterbatasan anggaran.
Kawasan
pemukiman kumuh yang kami jadikan sebagai objek dokumentasi adalah kampung
madras, lingkungan 3, kelurahan petisah tengah, kecamatan medan petisah.
Kawasan ini terletak di Jalan S. Parman tidak jauh dari Bangunan Cambridge.
Pemukiman kumuh yang dihuni penduduk terdapat di sepanjang pinggiran sungai
dekat sebuah jembatan penghubung, namun dilahan yang lebih rendah dari jalan
raya dan jembatan.
Dari hasil wawancara yang kami
lakukan dengan warga yang tinggal di pemukiman kumuh di kampung madras ini,
diketahui bahwa sangat minimnya fasilitas-fasilitas hunian yang menjadi
indikator pemukiman layak. Maraknya pekerjaan di sector informal yang tak
berizin menjadi salah satu indicator masalah perkotaan. Bentuk nyatanya
terlihat dari apa yang diungkapkan Suwarni (45), salah seorang warga kawasan
ini yang bekerja sebagai buruh cuci mengungkapkan bahwa sebagian besar warga
pemukiman ini bekerja sebagai buruh cuci sepertinya, tukang becak, pedagang
kaki lima, pedagang kecil lainnya. Suwarni juga mengatakan pemukiman ini
tidak mendapatkan fasilitas air bersih
dari PAM. Kebutuhan air minum, dipenuhi dengan cara membeli air yang dijual
keliling, sementara aktivitas mencuci dan mandi dilakukan disungai tersebut.
Sungai sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga dan lainnya juga dijadikan
sebagai pemasok air untuk mencuci dan mandi jelas menunjukkan bahwa sanitasi
air di pemukiman kampung madras ini sangat buruk. Tidak sampai disitu saja,
dari apa yang diungkapkan suwarni, diketahui bahwa pemukiman ini jauh dari
kesan nyaman, karena merupakan daerah rawan banjir akibat meluapnya sungai di
musim hujan. Rumah-rumah dibangun dengan material seadanya, dan tidak memenuhi
standart ketahanan rumah yang permanen. Masalah kepemilikan lahan juga tidak
jelas, Suwarni sendiri mengungkapkan bahwa dia membeli rumah di kawasan ini
tidak disertai document kepemilikan, dan tidak hanya dia, hampir semua warga
tidak memiliki kejelasan kepemilikan rumah yang mereka tempati karena pada
dasarnya kawasan ini merupakan lahan kosong yang memang tidak seharusnya
didirikan bangunan karena sangat rawan banjir. Rumah-rumah dikawasan ini tidak
teratur dan berukuran kecil tetapi diisi dengan banyak individu. Terlepas dari masalah fisik pemukiman, Melli
(20) yang juga warga kampung madras yang berkerja sebagai pedagang mengungkapkan
bahwa interaksi warga sangat rukun, warga berbagai etnis berbaur di pemukiman
ini.Mayoritas warganya ialah penduduk keturunan india dan jawa dan berprofesi
sebagai pedagang.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kristaneh.blogspot.com/2009/05/makalah-pemukiman-kumuh.html
( Diakses 15 juni 2012)
Koestoer, Raldi Hendro, dkk, 2001, Dimensi
Keruangan kota : Teori dan Kasus, Universitas Indonesia, Jakarta.
Bintarto, 1989, interaksi Kota-Desa dan
Permalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.