Minggu, 07 April 2013

PEMUKIMAN KUMUH DAN PEMUKIMAN KOMUNITAS BERPAGAR CITRA KESENJANGAN KEHIDUPAN PERKOTAAN


Selamat Malam Cyber World,

Bloging lagi nih,


Belakangan saya merasa terperangkap dalam gelembung kasat mata saya (istilah diri sendiri ^_^) dan mendadak berubah menjadi diri yang nggak saya sukai. Deadline tugas kuliah, ngelamun, nulis, membaca, semua menjadi rutinitas yang membosankan, padahal selama ini saya tidak terlalu perduli.
Masalah lain kemudian muncul, yakni radang gusi yang sebulanan ini menyiksa dan mengganggu tidur nyenyak saya. Inisiatif teman untuk pembelahan gusi ke dokter gigi pun saya jabanin, tapi  menurut sang dentist ternyata saya nggak bisa mangap lebar-lebar karena rahang saya bermasalah. Dasar penyakit, emang adaaaa aja, bukan cuma menyiksa diri tapi juga menyiksa kocek saya.
Treatment khusus pun saya lakukan berdasarkan saran dokter untuk menormalkan rahang yang bermasalah, tapi setelah menjalani treatment tersebut, mendadak saya malah terserang migrain. belum selesai satu, penyakit lain malah datang. Memang terkadang ketika penyakit datang, kita begitu merindukan kesehatan yang ternyata harganya mahal sekali. sekarang yang mesti diperbuat adalah hati-hati untuk semua hal termasuk menjaga kesehatan.

Yaap Cyber world, cukuplah kiranya prolog postingan kali ini yang menjurus ke sesi curhat dulu. Maksud hati sih berbagi soal lain. postingan ini merupakan tugas akhir mata kuliah sosiologi perkotaan saya.
Semoga bermanfaat.


                                   
BAB I
PENGANTAR

1.1  Latar Belakang Masalah

Dalam memahami organisasi struktur keruangan wilayah perkotaan perlu diketahui paling tidak dua komponen dasar pembentuknya yaitu pola penyebaran penduduk dan pola penyebaran pembangunan kesejahteraan. Pola penyebaran penduduk  merupakan salah satu indikasi penyebaran konsentrasi penduduk, manusia sebagai pemegang peran penting dalam perubahan dimensi spasial perkotaan, khususnya dalam aspek nonfisik kota. Sedangkan pola penyebaran kesejahteraan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembangunan ekonomi kota. Pemahaman spasial kota membantu seseorang untuk dapat melihat potensi kota yang dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi pengembangan kota di masa depan, termasuk pembangunan manusianya.
Kombinasi kedua komponen tersebut membentuk suatu struktur organisasi keruangan kota yang kompleks yang memberi arti tertentu bagi penampilan spasial kota. Pembangunan kota yang berpola tidak menentu, baik dalam skala besar maupun mikro ditandai  pola pendapatan tentunya akan cenderung menunjukan struktur pola yang lebih variatif tidak beraturan. Pola ketidakberaturan distribusi pendapatan ditunjukkan dalam ranah pola pendapatan tinggi hingga rendah. Pada wilayah yang memiliki distribusi pendapatan rendah akan cenderung membentuk pola pemukiman kumuh (slum settlement) dan pemukiman liar (squatter settlement) yang biasanya dihuni penduduk yang bekerja di sector informal seperti  buruh dan pedagang kecil bahkan  pengangguran. Bertolakbelakang dengan pola pemukiman diatas, penduduk berpendapatan tinggi memilih hunian berkelas atau elite dan membentuk sebuah komunitas berdasarkan hunian pilihan tersebut. Komunitas ini biasanya disebut dengan komunitas berpagar (Gated Community).
Mengkaji masalah pemukiman di kota-kota besar terutama perkotaan yang ada di Negara-negara sedang berkembang, pikiran kita tidak pernah terlepas dari masalah-masalah yang muncul sebagai implikasi dari kedua jenis pemukiman yang telah disebutkan diatas. Negara-negara sedang berkembang saat ini tengah berbenah mengurus masalah tata ruang kota mengingat semakin maraknya urbanisasi besar-besaran masyarakat desa ke kota. Populasi penduduk di wilayah perkotaan mau tidak mau meningkat tajam diikuti pula dengan peningkatan jumlah pemukiman sebagai sarana tempat tinggal. Problematika yang selanjutnya muncul adalah bahwa ketersediaan pemukiman yang tidak merata. Tidak semua warga kota dapat memperoleh pemukiman yang layak sehingga muncullah pemukiman-pemukiman kumuh dan liar di tempat tertentu di kota. Pemukiman kumuh (slum area) dan pemukiman liar tersebut jumlahnya semakin lama semakin meningkat dalam mengisi kantong-kantong tertentu di wilayah perkotaan.
Seiring dengan pertumbuhan pemukiman kumuh di perkotaan Negara-negara sedang berkembang, fenomena berbanding terbalik dengan hal tersebut berkembang juga di perkotaan. Pembangunan komplek perumahan mewah semakin marak pula  pertumbuhannya. Hunian masyarakat kelas menengah atas yang jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan pemukiman kumuh ini turut pula menyumbang masalah dan dampak sosial di tengah-tengah masyarakat kota.


1.2  Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
  • Apa yang dimaksud dengan pemukiman?
  • Apa yang dimaksud dengan pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar serta seluk beluknya di perkotaan?
  • Bagaimana bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai indikasi pemukiman layak huni?
  • Bagaimana pengamatan terhadap pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar di kota medan?

1.3  Tujuan
Adapun yang menjdi tujuan  penyusunan makalah ini adalah :
·         Untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pemukiman kumuh dan pemukiman komunitas berpagar khususnya di kota medan
·         Untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah sosiologi perkotaan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Pemukiman
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atabenda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.

2.2  Pengertian Pemukiman Kumuh

Istilah permukiman kumuh (slum settlement) sering dicampuradukkan dengan istilah permukian liar (squatter settlement). Pada dasarnya pemukim liar dimaksudkan sebagai orang yang menghuni suatu lahan yang bukan miliknya dan haknya, atau tanpa ijin dari pemiliknya. Pengertian permukiman liar ini mengacu pada legalitas, baik itu legalitas kepemilikan lahan/tanah, penghunian atau pemukiman, serta pengadaan sarana dan prasarananya. Permukiman liar ini mempunyai sejumlah nama lain diantaranya adalah permukiman informal (informal settlement) permukiman tidak resmi (unauthorized settlement), permukiman spontan (spontaneous settlement) dan permukiman yang tidak terencana atau tidak terkontrol. Sedangkan istilah permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh  diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated) baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, sehingga tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya.
Pada umumnya permukiman kumuh ditandai dengan tingkat kepadatan penduduk, kepadatan hunian, serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi, diikuti dengan kualitas rumah sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka/rekreasi/sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, perbelanjaan dan sebagainya. Selain itu juga diwarnai oleh tingkat pendapatan penghuni, tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan yang sangat rendah serta tidak terjaganya privasi masing-masing keluarga.
Kumuh atau slum adalah permukiman atau perumahan orang-orang miskin kota yang berpenduduk padat, terdapat di pinggir-pinggir jalan atau lorong-lorong yang kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan. Selain itu, permukiman kumuh dianggap sebagai tempat anggota masyarakat kota yang mayoritas berpenghasilan rendah dengan membentuk permukiman tempat tinggal dalam kondisi minim.
Charter Adam (1984) menamakan permukiman di lingkungan kumuh sebagai kampung gembel dengan ciri bangunan liar di atas tanah yang tidak sah. Menurut E.E. Bergel (1970) permukiman kumuh disebutnya sebagai daerah slum yang bukan saja dari segi fisik tetapi juga dari segi sosial. Sedangkan Soemadi (1990) menyatakan perkampungan kumuh adalah bagian dari kota yang jorok, bangunan-bangunan yang tidak memenuhi syarat dan kesehatan serta didiami oleh orang miskin dengan fasilitas tempat pembuangan sampah, maupun fasilitas air bersih tidak memenuhi syarat kesehatan.
Menurut UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman : Permukiman Kumuh adalah Permukiman tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, serta membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan ciri-cri pemukiman kumuh adalah :
1.      Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2.      Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruanganya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3.      Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4.      Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :
§  Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
§  Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.
§  Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
§  Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
§  Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
Sedangkan  perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial, dengan kriteria antara lain:
§  Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2.
§  Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.
§  Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.
§  Jenis lantai tanah
§  Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK)
Dilihat dari beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa pemukiman kumuh adalah suatu daerah slum area yang tidak layak huni, tidak memenuhi syarat kesehatan, dengan kondisi lingkungan permukiman tanpa sanitasi, dimana utilitas permukiman tanpa pengelolaan yang baik, bangunan yang relatif kecil, berdempet-dempetan, fasilitas permukiman sangat kurang, kualitas bangunan rendah dan bersifat kotemporer atau darurat. Untuk itu kajian penanganan permasalahan kumuh tersebut harus menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama dalam rangka membangun kualitas hunian layak dan peningkatan kesejahteraan ekonomi.

2.3  Pemukiman Komunitas Berpagar
Komunitas berpagar (gated community),  adalah sebutan untuk kelompok masyarakat berkelas yang menghuni pemukiman jenis ini. Komunitas berpagar menyebabkan lahirnya sebuah komunitas dari  masyarakat yang terkotak-kotak melalui life sytle, kemewahan, prestise dan penuh dengan manipulasi simbol. Komunitas Berpagar (Gated Community), merupakan sebuah komunitas hunian eksklusif, komunitas permukiman cluster yang menciptakan batas ruang dalam masyarakat, baik batas secara fisik seperti tembok besar yang mengelilingi perumahan – perumahan eksklusif/elite maupun batas secara non-fisik seperti etnisitas dan agama.
Pertumbuhan akan perumahan-perumahan elite yang kadang kala disebut dengan komunitas berpagar telah banyak muncul dan menjadi primadona baru pilihan bertempat tinggal bagi kaum-kaum high class. Pilihan tempat tinggal yang memberikan berbagai penawaran fasilitas terlengkap layaknya sebuah hunian seperti “surga dalam sebuah pulau”, di mana berbagai hal yang ditawarkan mulai dari keterjangkauan akses yang mudah mencapai tempat kerja atau pusat keramaian; satu kawasan  yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti taman bermain, sarana rekreasi, jaminan keamanan super ketat, shopping mall, rumah sakit, sekolah mulai taman kanak-kanak sampai sekolah menengah bahkan universitas, sarana olahraga dan sebagainya. Semua fasilitas yang terkonsentrasi pada satu kawasan ini memberikan angin surga, di mana semua pemenuhan kebutuhan tersedia ada tanpa harus berpergian jauh dari tempat tinggal.
Perumahan-perumahan elite yang eksklusif atau perumahan kelas menengah atas ini telah menjadi sebuah persoalan dari dinamika masyarakat khususnya ketimpangan ekonomi yang tajam, struktur hierarki kelas yang jelas antara kaya dan miskin, suplemen perangsang terciptanya kesenjangan sosial maupun potensi konflik. Dampak nyata dari menjamurnya perumahan-perumahan demikian memberikan penekanan dari sebuah dimensi masalah sosial yang dapat menggambarkan ketimpangan antara penghuni dari perumahan gated community ini dengan lingkungan sekitar di daerah kawasan perumahanTambahkan komentar
Gated Community merupakan salah satu life style kelompok-kelompok kelas menengah ke atas, di mana sebuah komunitas masyarakat yang eksklusif layaknya kompleks perumahan mewah yang di kelilingan tembok-tembok besar atau yang disebut dengan pagar. Pagar yang biasanya menjadi batas kepemilikan lahan milik individual, kini justru menjadi pemisah lahan tempat komunitas tertentu dengan lingkungan sekitarnya. Pagar yang memberikan penekanan pengkotak-kotakan antara komunitas yang di dalam pagar (penghuni gated community) dengan masyarakat di luar pagar layaknya pemukiman-pemukiman biasa atau perkampungan disekitarnya.
Merebaknya komunitas masyarakat pagar, seperti perumahan-perumahan elit dengan tembok tinggi dan terkesan tertutup, akan menciptakan kecemburuan sosial dengan masyarakat di luar perumahan. Problem sosial kota-kota di akan semakin berat dan memberikan peluang makin terbukanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta terciptanya masalah-masalah baru di perkotaan.
Komunitas berpagar dari perumahan-perumahan elite yang dikembangkan oleh kapitalis developer perumahan itu menawarkan sesuatu layaknya ilusi. Komunitas ini dimanjakan dengan bertempat tinggal di perumahan itu layaknya tinggal di eropa, dengan pemberian nama-nama daerah di eropa yang indah pada nama perumahan layaknya perumahan bernama villa Catalunya, Amsterdam, Paris dan sebagainya. Ilusi – ilusi itu sengaja dimodifikasi untuk memberikan khayalan fiktif dengan menempati perumahan itu akan serasa tinggal di sebuah daerah dataran Eropa.
Pihak-pihak pengembang (developer) sengaja memberikan ilusi demikian agar target pasar dari pemilik capital dapat segera tercapai. Tawaran-tawaran fasilitas lengkap dan mewah ini memberikan hak eksklusif dari pemilik rumah untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini, di mana fasilitas ini hanya menjadi ruang privat dari pemukim perumahan dalam pagar dan tidak memberikan hak yang sama kepada pemukim di luar pagar. Intinya pihak pengembang telah memodifikasi sekaligus memanipulasi nilai hunian tempat tinggal ini bukan hanya sebagai tempat bermukim tetapi menawarkan tempat tinggal yang penuh akan simbol prestise dan kemewahan dari pemilik rumah sebagai cerminan masyarakat modern. Dengan demikian, pihak pengembang lebih berorientasi kepada profit semata tanpa memaknai dampak sosial yang akan ditimbulkan.
Munculnya komunitas ini jelas  akan merangsang merebaknya masalah sosial yang mendorong dan merusak sistem sosial. seperti halnya menciptakan jurang kesenjangan antara pemukim di dalam pagar dan di luar pagar; pagar fisik ini menegaskan batas dari sebuah komunitas yang menciptakan kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin,  yang jelas-jelas memberikan efek jangka panjang kesenjangan sosial secara ekonomi. Pagar fisik juga memberikan penegasan batasan interaksi yang melambangkan bahwasanya masyarakat di luar dari pagar adalah kelompok asing yang berbeda kelas dan statusnya. Selain itu, aktivitas-aktivitas di dalam kawasan berpagar atau  perumahan elite ini terkesan longgar dari kontrol sosial lingkungan sehingga dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki seperti tindak kriminal atau kejahatan. Karena pada dasarnya jaminan keamanan kawasan berpagar ini hanya bertujuan mengawasi orang asing yang masuk bukan sebagai pengontrol aktivitas di dalamnya. Kawasan berpagar atau perumahan mewah ini tidak akan menciptakan lingkungan sosial yang ramah akan interaksi bertetangga karena eksklusifitas yang ditawarkan adalah terjaminnya privasi dari pemilik rumah sehingga dapat menurunkan kualitas dari sebuah interaksi lingkungan sosial tempat tinggal. Dunia yang tercipta di dalam kawasan pemukiman mewah ini telah memberikan garis batas untuk tidak berhubungan dengan dunia di luar pemukiman karena segala fasilitas baik sarana dan prasarana telah tercukupi di dalamnya. Disamping itu, terciptanya batas-batas yang tidak hanya fisik tetapi non-fisik seperti perumahan-perumahan yang terpolarisasi dengan agama maupun etnis misalnya perumahan islam, perumahan kristen, perumahan batak, cina, jawa, bugis dan sebagainya sehingga dapat menimbulkan potensi konflik secara horizontal karena mudah untuk teridentifikasi.
Menjamurnya perumahan gated community sebenarnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah local dan pusat yang memberikan akses perizinan kepada developer untuk membangun pemukiman sebagai upaya pendukung dari program pemerintah  yang berkerjasama dengan pihak swasta membangun perumahan dalam rangka kesejahteraan rakyat. Namun, pihak developer tidak lagi mempertimbangkan sisi proses sosial dari sebuah pemukiman, di mana ketika pelimpahannya diserahkan kepada pasar atau pihak swasta maka hal ini akan menjadi wilayah kepentingan pemilik modal untuk membangun perumahan yang dapat menguntungkan seperti perumahan mewah yang berakibat munculnya komunitas berpagar sehingga aksesbilitas hanya kepada kaum berkelas saja dan semakin memarginalkan masyarakat dengan ekonomi pas-pasan dalam mencari pemukiman. Pihak pengembang hanya memfasilitasi kepentingan dari masyarakat yang memiliki banyak uang. Maka tidak heran jika pemukiman-pemukiman yang dibangun hanya menjadi ajang eksklusifitas kelas menengah keatas yang menciptakan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Terlebih dari itu masih akan ada dampak sosial yang panjang, di mana perumahan gated community yang dinilai dari segi ekonomis dan fisiknya memberikan peluang potensi-potensi kesenjangan sosial, tindakan kriminal, konflik sosial horizontal, penggusuran dan menumbuhkan sifat individualistik dari sebuah komunitas, sehingga nilai kolektifitas tidak menjadi corak dari pemukiman yang dulu sangat tampak kental. Pengaruh ini mustahil dapat dihilangkan secara instan, hanya saja jika semua pihak memiliki kemauan untuk meminimalisir dampak sosial yang ditimbulkan. Pemerintah, aparat setempat dan masyarakat lokal serta penghuni gated community berkenan membuka diri dan menerima perbedaan melalui kegiatan-kegiatan kebersamaan layaknya gotong-royong dengan mengedepankan konsensus agar keberagaman latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi dapat terintegrasi hidup bersama tanpa  memandang adanya perbedaan.


2.4  Ketersediaan Fasilitas  Sebagai indikasi Pemukiman Layak Huni
            Suatu pemukiman dapat dikatakan layak  jika memenuhi standart yang sudah ditetapkan. Namun, ada kalanya ketetapan standatr dari berbagai badan yang berkaitan maupun pemerintah berbeda-beda. Pada umumnya, dalam hunian layak terdapat  fasilitas-fasilitas meliputi penyediaan air bersih, penyaluran air kotor, sanitasi,  pembuangan limbah padat, drainase dan jalan lingkungan. Penggunaan air bersih diperlukan terutama dalam aktivitas memasak, mencuci, mandi  dengan jumlah kurang-lebih 60 liter per orang per hari. Penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan oleh pihak pemerintah/swasta berupa sambungan langsung ke rumah atau keran umum. Bagi pemukiman di luar daerah pelayanan dapat menggunakan sumur air tanah dangkal. Masalah sanitasi air ini berpengaruh terhadap dampak kesehatan seperti penyakit kulit dan perut. Di sisi lain, air kotor diartikan sebagai buangan rumah tangga dan tinja. Penyaluran dapat melalui saluran kota ke instalasi pengolahan air limbah atau diolah secara individual dengan system cubluk atau septic tank. Ketiadaan fasilitas pengolahan air kotor ini  dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti penyakit perut.
            Limbah padat  biasanya berupa sampah  rumah tangga terutama  yang berasal dari kegiatan dapur. Bahan organik cukup dominan jumlahnya dalam sampah, sehingga bentuk sampah umumnya basah dengan sifat membusuk. Penanganan sampah ini  harus dilakukan secara rutin agar tidak menimbulkan lingkungan kotor, bau tidak sedap dan tentu saja penyakit. Disamping itu fasilitas drainase juga mutlak tersedia dalam suatu pemukiman, karena tingkat penyerapan air hujan oleh tanak di kota relative kecil. Jika drainase ini tidak ada akan menimbulkan lingkungan becek dan dipastikan akan terjadi banjir, jika hujan terus-menerus datang. Dan terakhir, Jalan lingkungan sangat dibutuhkan sebagai sarana hubungan lokal antar warga masyarakat. Selain itu penting sebagai penghubung dengan daerah luar.                                                          
Semakin kompleksnya pengaturan masalah pemukiman di perkotaan, memunculkan standart baku lainnya berupa fasilitas lainnya demi memenuhi kritetia sebagai hunian layak. Selain fasilitas pembuangan dan akses air bersih, yang perlu dimiliki demi kejelasan sebuah pemukiman ialah kepastian akan hak penguasaan lahan berupa surat peryataan dan bukti sertifikat atau dokumen kepemilikan lainnya, sehingga dapat diketahui kejelasan kepemilikan lahan dan mencegah sengketa. Selain itu, pemukiman layak ditandai pula dengan adanya kejelasan ketahan rumah atau pemukiman. Dari indicator tersebut, dapat diketahui bagaimana struktur rumah, lokasi rumah dibangun dan material bangunan yang digunakan. Pemukiman atau hunian yang layak harus memiliki struktur yang sudah permanen, lokasi yang nyaman dan akses ke lingkungan luar yang lancar serta  dibangun dengan menggunakan bahan bangunan dan material yang berkualitas baik.

2.5  Hasil Pengamatan dan Wawancara di Kawasan Pemukiman Kumuh dan Pemukiman Berpagar di kota Medan

  • Pemukiman Kumuh di kota Medan
Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia masih memiliki  banyak masalah dalam penataan penduduk ruang kota. Hal ini terlihat dari  banyaknya  wilayah pemukiman kumuh  yang tersebar di wilayah kota Medan sebanyak 145 titik pemukiman kumuh. Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Pemukiman  Kota Medan, saat ini, rumah yang berdiam di kawasan itu mencapai 88.166 unit rumah atau sekitar 17 persen dari 503.000 lebih rumah di kota Medan. Pemukiman kumuh ini terdapat di Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan II, Kelurahan Binjai Medan Denai, Kelurahan Bahari Medan Belawan, Kelurahan Aur Medan Maimoon, Kampung Madras Kecamatan Medan Petisah dan lain-lain.
Pada umumnya kawasan pemukiman kumuh ini berada di bantaran sungai dan pinggiran rel kereta api. Penanganan masalah ini telah diagendakan tiap tahunnya oleh dinas pemukiman dan perumahan seperti perbaikan infrastruktur, penataan lingkungan, pengadaan air bersih dan pembuatan drainase, akan tetapi tampak kurang optimal karena keterbatasan anggaran.
Kawasan pemukiman kumuh yang kami jadikan sebagai objek dokumentasi adalah kampung madras, lingkungan 3, kelurahan petisah tengah, kecamatan medan petisah. Kawasan ini terletak di Jalan S. Parman tidak jauh dari Bangunan Cambridge. Pemukiman kumuh yang dihuni penduduk terdapat di sepanjang pinggiran sungai dekat sebuah jembatan penghubung, namun dilahan yang lebih rendah dari jalan raya dan jembatan.


  • Hasil Wawancara
            Dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan warga yang tinggal di pemukiman kumuh di kampung madras ini, diketahui bahwa sangat minimnya fasilitas-fasilitas hunian yang menjadi indikator pemukiman layak. Maraknya pekerjaan di sector informal yang tak berizin menjadi salah satu indicator masalah perkotaan. Bentuk nyatanya terlihat dari apa yang diungkapkan Suwarni (45), salah seorang warga kawasan ini yang bekerja sebagai buruh cuci mengungkapkan bahwa sebagian besar warga pemukiman ini bekerja sebagai buruh cuci sepertinya, tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang kecil lainnya. Suwarni juga mengatakan pemukiman ini tidak  mendapatkan fasilitas air bersih dari PAM. Kebutuhan air minum, dipenuhi dengan cara membeli air yang dijual keliling, sementara aktivitas mencuci dan mandi dilakukan disungai tersebut. Sungai sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga dan lainnya juga dijadikan sebagai pemasok air untuk mencuci dan mandi jelas menunjukkan bahwa sanitasi air di pemukiman kampung madras ini sangat buruk. Tidak sampai disitu saja, dari apa yang diungkapkan suwarni, diketahui bahwa pemukiman ini jauh dari kesan nyaman, karena merupakan daerah rawan banjir akibat meluapnya sungai di musim hujan. Rumah-rumah dibangun dengan material seadanya, dan tidak memenuhi standart ketahanan rumah yang permanen. Masalah kepemilikan lahan juga tidak jelas, Suwarni sendiri mengungkapkan bahwa dia membeli rumah di kawasan ini tidak disertai document kepemilikan, dan tidak hanya dia, hampir semua warga tidak memiliki kejelasan kepemilikan rumah yang mereka tempati karena pada dasarnya kawasan ini merupakan lahan kosong yang memang tidak seharusnya didirikan bangunan karena sangat rawan banjir. Rumah-rumah dikawasan ini tidak teratur dan berukuran kecil tetapi diisi dengan banyak individu.  Terlepas dari masalah fisik pemukiman, Melli (20) yang juga warga kampung madras yang berkerja sebagai pedagang mengungkapkan bahwa interaksi warga sangat rukun, warga berbagai etnis berbaur di pemukiman ini.Mayoritas warganya ialah penduduk keturunan india dan jawa dan berprofesi sebagai pedagang.

  
DAFTAR PUSTAKA


http://kristaneh.blogspot.com/2009/05/makalah-pemukiman-kumuh.html ( Diakses 15 juni 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota (diakses 15 juni 2012)
Koestoer, Raldi Hendro, dkk, 2001, Dimensi Keruangan kota : Teori dan Kasus, Universitas Indonesia, Jakarta.
Bintarto, 1989, interaksi Kota-Desa dan Permalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar