Jumat, 29 September 2017

FIKSI : Demi Cinta yang Baik

Aku melihatmu lagi setelah sedasawarsa lamanya. Bertemu dan bertatap muka berarti melucuti kenangan lama.

Gurat wajahmu melukiskan bahagia. Bahagia yang berbeda. Menurut hematku, saat terbahagia dalam hidupmu adalah waktu yang kita habiskan bersama. Aku keliru. Hanya aku saja ternyata yang membukukan fase hubungan utopia kita dulu. Kau tidak.

"Aku akan segera menikah" katamu. Aku tersenyum. Bukan kabar yang mengejutkan. Aku tahu cepat lambat semestamu akan mengenal istilah baru. Pernikahan.Yang berbeda adalah dulu kau selalu meledek mereka, orang-orang kebanyakan yg begitu memuja pernikahan.

Perubahan itu suatu yang pasti, namun kau tidak berubah. Kau terlahir baru. Kau bereinkarnasi. Seolah tanpa ingatan akan kita.

"Cinta yang baik harus berani hijrah" katamu dulu. Aku baru tahu cinta punya ukuran dan skala soal baik buruk. Sejak dulu kau memang si pemikir. Tapi dulu kau tidak pernah berfilosofi perihal cinta. Bagimu cinta terlalu utopis.  Yang nyata adalah keterikatan antara kita melewati hari demi hari.

"Cinta yang baik, yang menuntunmu pada kebaikan, bukan kesenangan semata". Tambahmu lagi. Kalimat yang jelas-jelas menunjukkan keputusanmu untuk pergi. 

Setelahnya, kau memilih menyambut uluran tangan baru. Melangkah dan meninggalkanku di persimpangan seolah kita berbeda tujuan. Tanpa bertanya benarkah kita berbeda tujuan?

Hari-hari setelah itu hanyalah aku beserta ribuan tanya yang terperangkap dan tak punya cara untuk lolos dari pikiranku. Tidak bisakah 'cinta yang baik' itu saling menuntun, saling merangkul dan hijrah bersamaan?
Mungkin kalau begitu, lain lagi akhir ceritanya.

"Kau juga harus menikah" katamu dengan senyum penuh ketulusan. Senyum yang sama. Senyum yang masih punya daya meluberkan rindu yang tak ubahnya bongkahan es kutub. 

Aku juga dulu menginginkannya. Pernikahan. Lantas bersabar sambil berharap akan ada momen ajaib yang membuatmu berubah pikiran dan mulai memercayai ikatan sejenis itu. Momen ajaib itu memang kemudian tiba, namun dengan alur yang berbeda. Jadi saat ini, terasa agak sulit bagiku untuk kembali menginginkannya,  apalagi setelah uluran tanganku dilepaskan.

Entah sejak kapan kau tak lagi si bebas yang sama. Aku akan mencoba berbahagia, untuk seseorang yang akan berstatus 'suami'.  Demi cinta yang baik itu. 

Malang,  September 2017

Selasa, 19 September 2017

Review Film : Thread of Lies (2013)


Sungguh,  dari hati yang paling dalam saya nggak punya niat untuk mentranformasi blog ini jadi blog ulasan film korea. Hanya saja pikiran yang semrawut dan kerjaan yg bikin jenuh lagi-lagi membawa saya pada pelarian yang bernama: film korea. Kenapa korea? Jangan tanya, karena saya juga nggak tahu. Mungkin karena belakangan saya suka nangkringin berita hallyu,  atau mungkin karena lamaran-lollipop-virtual ala Lee Jong Hyun CNBLUE?, entahlah.. Terlalu banyak kemungkinan. Mungkin pastinya hanya Tuhan beserta staff-staffnya yang tahu jawabannya. 

Sangat banyak 'pelarian' yang saya nonton belakangan ini, tapi 'pelarian' yang kemudian membekas di hati, selalu membuat saya gatal ingin mereview serta merekomendasikannya kepada siapa saja yang minat nonton.  

Objek ulasan kali ini, baru saya nonton colongan di sela-sela kerjaan tadi siang. Thread of Lies. Bukan film baru, namun thema penceritaan yang diusung masih terasa sangat relevan sampai saat ini. Tidak lain tidak bukan masalah perundungan alias bullying di lingkungan sekolah. Terasa akrab 'kan? 

Belakangan, kita sering menyaksikan begitu banyak unggahan tindakan perundungan/bully yang terjadi di kalangan remaja terutama pelajar yang kemudian viral di media sosial. Selalu, setelah berita-berita demikin viral, barulah pihak sekolah mengambil tindakan. Diluar berita perundungan yang kemudian viral tersebut, pasti masih sangat banyak kasus perundungan sejenis di seluruh penjuru tanah air yang tidak terekspose atau terendus media. 

Dunia pendidikan Korea Selatan, juga tak luput oleh kasus-kasus semacam ini.  Potret kelam inilah yg kemudian diangkat kedalam sebuah sajian layar lebar berjudul Thread of Lies. 

Thread of Lies mengisahkan kehidupan seorang janda bernama Hyun Suk bersama kedua anaknya Man Ji dan Chon Ji yang berstatus pelajar. Keseharian mereka terlihat biasa saja seperti keluarga pada umumnya sampai kemudian mereka mendapati si bungsu Chon Ji tewas gantung diri di kamarnya. Hal ini tentu membuat Ibu dan sang kakak terkejut, Bagaimana mungkin Chon Ji bisa bunuh diri mengingat Ia adalah pribadi yang lumayan periang, dan tidak terlihat sedang ada masalah pada keluarga ataupun dengan teman-temannya. 

Setelah kematian Chon Ji, Hyun Suk dan Man Ji, memilih pindah ke apartemen yg lebih sederhana. Di apartemen tersebut, Man Ji tidak sengaja bertemu dengan Hwa Yeon,  -teman sekelas Chon Ji- yang kebetulan tinggal di apartemen yang sama. Keresahan Man Ji muncul setelah melihat gelagat aneh Hwa Yeon saat pertemuan dan perbincangan mereka. Hal ini kemudian mendorongnya untuk melakukan penyelidikan tentang misteri dibalik kematian adiknya. 

Disinilah konflik film kemudian mulai bergulir. Dengan alur penceritaan flashback, satu demi satu bukti penyebab bunuh diri Chon Ji terkuak. Bullying -baik langsung maupun tersirat- yang dilakukan teman sekelasnya menjadi faktor utama Chon Ji mengakhiri hidup. Hwa Yeon, yang terkenal baik hati dan cukup dekat dengan Chon Ji pun, ternyata tak luput dari tindak perundungan, sikapnya pada Chon Ji juga berkontribusi banyak atas keputusan bunuh diri gadis itu.  

Penceritaan semakin menarik ketika Man Ji menemukan surat wasiat Chon Ji dalam sebuah gulungan benang woll yang biasa dipakai adiknya untuk merajut. Dalam surat tersebut, Chon Ji juga menuliskan bahwa ada lima wasiat yang ia sebar kepada orang-orang tertentu. Hal ini lah yang kemudian membuat Man Ji semakin bernafsu mengulik misteri penyebab bunuh diri adiknya. 

Tontonan dengan pengisahan serius seputar bullying, depresi, dan bunuh diri biasanya akan sangat mudah memancing emosi dan airmata penonton. Tetapi Thread of Lies terasa agak berbeda, disajikan apa adanya tanpa dramatisasi berlebihan. Bagi saya, Thread of Lies adalah sajian melodrama dengan porsi yang pas. Menontonnya, mau tak mau mengajak kita berempati dengan keadaan Chon Ji, yang senantiasa berusaha meredam duka dan kesepiannya sendirian selama menjadi bulan-bulanan di sekolah. Menontonnya,  juga membuat kita bersedih dan merasakan penyesalan yang sama seperti yang dirasakan Hyun Suk Sang ibu dan Man Ji,  Si kakak, sebagai orang terdekat yang terlambat sadar.

Lagi-lagi Sineas Korea Selatan berhasil membuat karya sederhana namun sarat akan pesan moral. Thread of Lies mengirimkan pesan kepada penonton (juga kita, makhluk berakal dan memiliki hati) agar lebih peka dengan isu sensitif ini.  Tontonan ini juga mengajak agar kita lebih peduli akan keluarga dan orang-orang sekitar. Tidak semua anak mampu melawan perundungan yang dialami. Tiap anak pasti memiliki reaksi yang berbeda-beda ketika mengalami bullying. Ada yang mampu menyikapi dengan bijak dan mengalihkan pada hal-hal positif. Namun sebaliknya, bagaimana dengan mereka yg tak mampu menanggung beban perlakuan bully? Efek samping seperti depresi dan yang lebih parah semisal bunuh diri bisa saja tidak terelakkan.

Kesibukan beraktivitas, dan kurangnya waktu luang untuk saling bertukar cerita dengan keluarga, teman, dan orang terdekat secara tidak langsung membuat korban perundungan kehilangan tempat untuk berbagi, curhat, bahkan mencari solusi. Untuk itulah, sesulit atau selangka apapun, ada baiknya kita meluangkan sedikit waktu untuk sharing dan berkumpul bersama keluarga dan orang terdekat.

Sampai saat ini pun tindakan perundungan itu masih eksis terutama di kalangan remaja. Mungkin saja tanpa kita sadari, kita adalah bagian dalam perundungan tersebut,  entah sebagai korban, saksi, bahkan pelaku. Akhir kata cuma pengen bilang, bullying itu sama sekali nggak keren dan bisa berakibat fatal sekali. Disini, Thread of Lies mengingatkan kita agar jangan sampai ada lagi 'Chon Ji'- 'Chon Ji' yang lain di dunia nyata.

Selamat menonton dan selamat memetik pelajaran. 

Iyat
September 2017
 

Sabtu, 02 September 2017

MOVIE REVIEW : Miracle in Cell No.7 (2013)


Sesuatu se-Mahaluas cinta terkadang tak memiliki batasan. Apalagi ikatan cinta orangtua dan anak. Bahkan seseorang seperti Young Gu,  yang mengalami keterbelakangan mental sekalipun secara sempurna mampu memanifestasikan bagaimana cinta itu tidak terbatas kepada Ye Sung, putri sematawayangnya. 

Selama kamu masih memiliki hati dan ikatan yang erat dengan keluargamu, maka tidak ada alasan untuk tidak menangis atau -paling tidak tersentuh- saat menyaksikan film ini.  Miracle in cell number seven benar-benar sebuah tontonan menyayat hati. 

Di awal film, kita diajak mengilasbalik kehidupan Ye sung kecil (diperankan oleh Aktris cilik Kal So won) di tahun 1997. Tampak Young Gu (Ryu Seung Ryong) dan Ye Sung kecil dengan riang gembira menarikan tarian animasi sailormoon di emperan sebuah toko. Dibalik etalase toko tersebut, terpajanglah sebuah tas cantik bergambar sailormoon yang begitu diidamkan Ye Sung. Betapa tidak sabarnya sepasang ayah-anak ini menunggu esok tiba,  (hari gajian sang ayah,  Young Gu) karena mereka berencana membeli tas itu esok hari.  Namun rencana hanya tinggal rencana. Sesaat setelah itu,  sepasang suami istri beserta anak mereka memasuki toko, dan mencuri start membeli tas sailormoon itu.  Young Gu dan Ye Sung yg menyaksikan hal itu tentu tak tinggal diam.  Mereka merangsek kedalam toko dan Ye Sung mulai berteriak panik, menjelaskan bahwa tas itu adalah haknya.  Ia akan membelinya esok hari ketika sang ayah menerima gaji. Young Gu, pun mengamini ucapan putrinya tersebut.  Namun, karena dianggap membuat keributan,  penjaga toko kemudian mengusir mereka.  

Keesokan harinya, usai menerima gaji hasil bekerja sebagai petugas parkir di sebuah pusat perbelanjaan, Young Gu yang terlihat sedang menghitung lembaran gajinya, dihampiri oleh anak sepasang suami istri yang membeli tas Sailormoon kemarin.

"Ahjussi,  aku tahu dimana lagi toko yg menjual tas seperti ini" ucapnya. 

Satu kalimat yg memutuskan Young Gu untuk kemudian mengikuti gadis kecil itu menunjukkan arah toko yang dimaksud. Namun sayangnya, cuaca bersalju dan bongkahan es licin dimana-mana membuat gadis kecil itu tergelincir dan kepalanya terbentur. Young Gu, yang kemudian berusaha menyelamatkan malah disangka seorang saksi mata sedang melakukan pelecehan seksual kepada anak dibawah umur. Karena kecelakaan tersebut menyebabkan gadis kecil itu tewas seketika, maka berdasarkan kesaksian saksi mata ditetapkanlah Young Gu sebagai tersangka kemudian digiring ke balik jeruji besi. Maka terpisahlah sepasang ayah anak ini hingga Ye Sung kecil yang sebatangkara pun akhirnya dititipkan ke sebuah panti asuhan. 

Di bui, Young Gu dijebloskan ke dalam sel bernomor tujuh, bersama beberapa tahanan lainnya. Awalnya, karena kasus yang didakwanya, para penghuni sel nomor tujuh tersebut turut menyiksanya, sampai akhirnya mereka sadar bahwa dengan keterbelakangan mental yang diderita Young Gu, ditambah kepribadiannya yang lugu dan baik, seseorang seperti Young Gu tidak mungkin melakukan kejahatan semacam itu. Karena salah seorang napi dalam sel Young Gu sangat ahli menyelundupkan barang dari luar ke dalam tahanan mereka, Young Gu pun menceritakan kepada teman-teman satu selnya, bahwa ia sangat ingin bertemu Ye Sung putrinya. Teman-teman satu sel Young Gu,  yang bersimpati kepadanya,  berusaha melakukan berbagai macam cara untuk menyelundupkan Ye Sung ke dalam sel mereka. Usaha penyelundupan Ye Sung kedalam sel nomor tujuh berhasil. Akhirnya Young Gu dapat kembali melihat putri kesayangannya, Ye Sung.  Ye Sung sendiri dengan sikap kanak-kanaknya mau tidak mau membawa keceriaan tersendiri kedalam sel tersebut. Meski drama penyelundupan ini sempat ketahuan oleh kepala sipir penjara, namun sebuah insiden kebakaran yang terjadi di tahanan mereka -dimana Young Gu menyelamatkan si kepala sipir yang terjebak dalam ruangan penuh kobaran api-,   akhirnya membuat kepala sipir itu luluh atas kebaikan Young Gu,  dan memutuskan untuk kembali menyelundupkan Ye Sung ke dalam tahanan meski harus mempertaruhkan pekerjaannya jika suatu saat hal tersebut ketahuan. 

Hari-hari berlalu, persidangan Young Gu semakin dekat. Seluruh penghuni sel sudah mengajari Young Gu bagaimana menjawab pertanyaan demi pertanyaan sidang agar terbebas dari dakwaan palsu yang dituduhkan padanya. Namun sungguh sial memang nasib Young Gu, gadis kecil yang tewas tersebut ternyata merupakan putri komisaris polisi. Sesaat sebelum persidangan Young Gu diancam oleh sang komisaris polisi tersebut, agar mengiyakan apa yang telah didakwakan kepadanya,  kalau tidak, Ye Sung akan dibunuh.  Young Gu, yang amat sangat mengasihi putrinya itu akhirnya mengakui tuduhan palsu tersebut sehingga akhirnya ia dituntut hukuman mati. Cerita tidak hanya berakhir sampai disitu, jika kamu penasaran dan tertarik untuk menangisi kisah sepasang ayah anak ini, maka silahkan menontonnya langsung. 

Sebelumnya saya mau minta maaf karena tanpa sadar sudah menulis sinopsis sedemikian panjang dengan spoiler yang bertebaran.  Tapi yakinlah,  sinopsis berspoiler diatas tidak akan mengurangi kadar keistimewaan miracle in cell number seven sebagai sebuah sajian mahamenyedihkan (kalian boleh bilang saya lebay). Saya sudah menontonnya dua kali, dan dikalikedua saya tetap tersentuh dan bersedih atas kisah mereka.

Ada apa dengan sineas perfilman korea selatan? Kenapa mereka benar-benar terobsesi membuat penonton menitikkan airmata? Mereka benar-benar sekumpulan orang tak berperasaan yang mampu menciptakan film-film penguras airmata karena sepanjang durasi dengan tega menyiksa para tokoh utama. Setelah Taegukgi yang fenomenal itu, maka Miracle in cell number seven adalah tontonan tearjerker yang amat sangat powerfull, sehingga sukses membuat penontonnya gloomy seharian (lebay mode on, lagi).

Kamu tidak perlu memutar otak -seperti saat menonton film thriller, suspence, dan sejenisnya- saat menonton film ini. Plot penceritaan film ini sangat sederhana dan mengalir. Hanya ikuti saja alurnya,  maka Ye Sung, Young Gu,  serta sekumpulan penghuni sel nomor tujuh akan membawamu menikmati lika liku kehidupan dalam tahanan. Cukup komikal di paruh pertama, namun mengharubiru di akhir cerita. Jangan lupa sediakan sekotak tissue, jika kamu termasuk kedalam jenis orang-orang berhati nutrijell yang mudah berempati terhadap kisah kisah keluarga. 

Lalu, apa kelebihan film ini? kamu bisa menyaksikan sendiri melalui jajaran para aktor yang masing-masing memberikan acting terbaiknya. Ryu Seung Ryong Berhasil membuat kita berempati pada keluguan dan kenaifan serta cintanya yang tanpa excuse meskipun ia seorang dengan keterbelakangan mental. Disisi lain, Kal So Won yang masih sangat belia juga mampu membius kita dengan scene-scene penuh airmata. Dari sisi komedi, diisi oleh ahjussi-ahjussi penghuni sel nomor tujuh dengan tingkah absurd dan kekonyolan luarbiasa juga sukses mengundang gelak tawa. Siapa sangka kalau napi-napi dalam tahanan bisa selucu dan sekonyol mereka. Adegan yang paling sulit dilupakan mungkin adegan saat Young Gu dan Ye Sung berpisah sebelum Young Gu dieksekusi mati. Ia berbalik dan memeluk Ye Sung sambil meneriakkan maaf berkali-kali. This scene, oh my God, really ultra sad. 

Buat kamu-kamu pecinta mellowdrama, yang mulai jenuh dengan drama-drama percintaan picisan, dan rindu akan tontonan bagus mengharu biru berthema keluarga,  miracle in cell number seven benar-benar recomended sekali. Selamat menonton,  dan selamat tersentuh. 

Malang, 03.09.17

Kamis, 24 Agustus 2017

Movie Review : Drishyam (2015)


Setelah sekian lama tidak mencicipi karya layar lebar asal negeri hindustan, kemarin, akhirnya saya menonton satu lagi karya sineas bollywood berjudul 'Drishyam'.  Dan hasilnya, wow, agak diluar ekspektasi. Dalam artian positif tentunya. 

Diluar thema film india pada umumnya yang seringkali mengangkat kisah cinta picisan dibumbui belasan lagu mendayu-dayu, dan serangkaian tarian yang india banget, Drishyam rupanya mengambil jalan agak berbeda dengan menghadirkan drama keluarga yang lumayan kental unsur trillernya. 

Film ini mengisahkan tentang perjuangan seorang ayah bernama Vijay (Ajay Devgan) dalam melindungi keluarga kecilnya dari rentetan teror kepolisian karena terlibat sebuah kasus yang secara tidak sengaja menimpa keluarganya. Sederhana bukan? namun tidak demikian dengan jalinan penceritaannya.

Film dibuka dengan gambaran kehidupan sehari-hari Vijay,  seorang pengusaha TV kabel kelas menengah bersama istri dan dua putrinya yang aman dan tentram, sampai suatu ketika sebuah kasus menimpa keluarga kecilnya. Kasus tersebut, mau tidak mau membuat Vijay dan keluarga harus berurusan dengan pihak kepolisian.  Berbekal pengetahuan akibat terlalu getol menonton film,  Vijay dengan kecerdikannya berhasil membuat jajaran kepolisian mati kutu atas tuntutan demi tuntutan yang ditujukan kepada keluarganya. Hingga di penghujung film pun,  polisi masih saja dibuat geram oleh kelihaian Vijay. Rasanya agak sulit merangkum atau bahkan memberi spoiler buat film ini, jadi keputusan paling bijak menurut saya adalah alangkah lebih baik jika para reader yang budiman menontonnya langsung.

Pengalaman menonton film-film india bagi saya,  biasanya cenderung biasa-biasa saja. Setelah menyaksikan 'Kahaani' yang cukup menegangkan,  serta 'PK' yang bombastis itu, rasa-rasanya saya tidak pernah menemukan diri saya terpukau lagi dengan tontonan bollywood setelahnya.  Namun,  Drishyam, setidaknya memenuhi ekspekstasi saya dalam level film bollywood. Ide cerita yang excellent, tuturan kisah yang rapi sepanjang durasi,  ditambah lakon apik Ajay Devgan dan Tabu -khususnya- dari departement aktingnya membuat saya mau tidak mau mengacungkan dua jempol untuk film satu ini. Bahkan, durasi panjang dan lama ala film india sekalipun, tidak membuat saya bosan akan suguhan satu ini. 

Setelah dominasi korea selatan, perlahan-lahan sineas perfilman bollywood mulai bangkit dan unjuk gigi di kancah industri perfilman asia.  Bollywood,  seakan akan ingin menunjukkan bahwa mereka tidak hanya produktif secara kuantitas namun juga mampu melahirkan karya-karya yang baik secara kualitas. Diluar barisan melodrama picisan yang saya sebut sebelumnya,  PK,  My Name Is Khan,  Kahaani,  Slumdog Millionare,  menjadi bukti nyata kalau pekerja film bollywood cukup serius dalam menggarap produksi film layar lebar.  Slumdog millionare bahkan sudah melenggang dan mengantongi beberapa award dari ajang sekaliber oscar. 

Akhirnya kata,  Apalah arti sebuah film, tanpa pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Begitu pula halnya dengan Drishyam. Film ini mengajarkan bahwa, bagaimanapun,  terlepas dari benar atau salah sesuatu yang dilakukan seorang anak, orangtua tanpa pretensi apapun,  akan tetap selalu mencintai dan melindungi anak-anaknya semampu mereka,  seperti apa yang dilakukan Vijay terhadap keluarga kecilnya. Empat dari lima bintang untuk film ini.

Anyway,  kalau kalau kamu, penyuka genre triller,  dan nggak antipati sama karya-karya bollywood,  bolehlah menjajal film ini sebagai tontonan akhir pekan. 
Happy weekend and happy watching everyone. 

Fitriaty Koto

Senin, 31 Juli 2017

Agustus yang Kemudian Datang

"I live day by day. Just live"

Agustus sudah datang, dan bulan ini mungkin akan dipenuhi semangat para warga menyambut HUT kemerdekaan,  barangkali.  Namun yang kulakukan adalah melihat kebelakang.  Juli yang dipenuhi pikiran yang tumpang tindih,  dan kontemplasi yang kulakukan tanpa membuahkan hasil nyata.
Hari-hari melewati juli dengan aku di dalamnya yang mulai goyah dan kehabisan hasrat. Lalu kemudian menikmati masa-masa sakit seperti pesakitan yang berbahagia (its sound weird,  but its true). Ya, Juli ini penuh dengan banyak sekali cerita dan hal absurd.
dimulai dengan asupan bacaanku berisi artikel-artikel qureta,  mulai soal perdebatan politik yg tak ada habis-habisnya,  sampai artikel mengenai eksistensi diri yg diselingi pemikiran-pemikiran sigmund freud dkk yang membuatku bertanya sudah seberapa banyak bubuk micin di otakku??
Asupan selanjutnya adalah current update instagram yang penuh dengan berita-berita bintang hallyu dan drama-drama korea yang mulai terasa menjemukan.  Bukan soal dramanya sih, melainkan soal aktivitas menontonnya. Dramaland,  sometime,  somehow, membuatku gagap.
Juli tadinya hampir saja tanpa irama dan musik-musik, sampai tiba tiba suatu pagi aku terbangun dengan berita gantung dirinya seorang vocalist band yang suara dan lagu-lagunya mengiringi masa-masa sd-smp ku dengan musik nu metal-rock alternatif terbaik -menurutku-dan sukses membuatku tumbuh seperti remaja dengan selera musik abnormal.
Berminggu-minggu,  yang tanpa move on  atas berita itu,  aku memutuskan ditemani playlist berisi lagu-lagu band tersebut menjelang tidur,  hingga tanpa sadar lullaby kehabisan baterai.
Hari-hari diakhir juli masalah-masalah lain ikutan muncul,  dan aku mau tak mau turut campur dan berujung pada pembahasan alot soal adat istiadat. Aku dan seseorang teman,  tak henti-hentinya mencipta diskusi bilateral panas secara virtual soal perihal ini.  Dan hal itu membuat kami ingin memutuskan keluar dari ikatan primordial yang sejenis itu,  agar terbebas dari kungkungan yang terasa kaku.
-iyat-
Masih dengan sirkuit otak overcomplex

Minggu, 23 Juli 2017

MOVIE REVIEW : The Beauty Inside (2015), Satu Cinta dalam Banyak Wajah


Setelah belakangan kembali intens melakukan aktivitas marathon drama dan film korea, agaknya saya ingin kembali mencoba peruntungan menulis review film di rumah tua (baca: Blog) ini. Seperti jargon salah satu penerbit buku fiksi kenamaan, ‘Read is hot, Write is cool’, saya  juga akan kembali mencoba membangkitkan djiwa menulis –yang pemalas- ini dari persemayamannya (lebay mode on). Ada beberapa movie asal negeri ginseng  yang sebenarnya sangat ingin saya review. Tetapi pada kesempatan kali ini, saya akan mereview salah satunya saja. Tidak lain tidak bukan ‘The Beauty Inside’.

Jika kamu merupakan salah satu penggemar oppa dan ahjussi tampan asal negeri ginseng, dan ingin menyaksikan lakon ciamik mereka dalam satu paket project film, maka ‘The Beauty Inside’ adalah pilihan tontonan yang tepat. Kalau biasanya kita sering disuguhkan film dimana seorang aktor memerankan beberapa karakter sekaligus (sebut saja, karakter tokoh kembar, misalnya), maka dalam The Beauty Inside kamu akan menyaksikan sebaliknya, dimana beberapa aktor/ aktris memerankan satu tokoh. Penasaran kan? Penasaran? Oh, tidak. Ya sudah.

The Beauty Inside rilis sejak juli 2015 silam dan merupakan remake dari film Amerika berjudul sama yang tayang tiga tahun sebelumnya. Ide cerita yang menarik serta raihan penonton dengan angka memuaskan dari versi aslinya, agaknya menjadi ketertarikan sendiri bagi sineas perfilman Korea Selatan untuk mencoba peruntungan mendaur ulang film ini dengan cita rasa korea. Maka, akhir tahun 2014, film ini resmi memulai produksi dan ditayangkan Juli tahun depannya.

The Beauty Inside berkisah tentang seorang pria yang bekerja sebagai furniture designer bernama Woo Jin. Woo jin sendiri, merupakan sosok pria yang tidak biasa, karena sejak sebelas tahun yang lalu saat ia masih duduk di bangku SMA, Woo Jin mengalami penyakit aneh yang dulu juga diderita almarhum ayahnya. Penyakit itu, mau tidak mau berimbas sangat signifikan pada kehidupan sosial Woo Jin. Dan apakah tepatnya penyakit aneh tersebut? Penyakit aneh tersebut membuat Woo Jin selalu berganti-ganti wajah setiap kali dia terbangun dari tidur. Bahkan tidak hanya wajah, postur tubuh, jenis kelamin, usia, bahkan  juga kebangsaan ikut berubah ketika ia bangun dari tidur. Intinya, Woo Jin menjadi orang yang sama sekali berbeda –secara fisik-dengan sesaat sebelum dia tertidur. Hari ini, ia bisa saja tertidur dengan fisik kakek-kakek renta namun keesokan paginya ia terbangun dengan fisik pelajar SMA. Namun dibalik itu semua, Woo Jin tetaplah seseorang dengan hati, jiwa, perasaan, bahkan memori yang sama. Tetap seseorang bernama Woo Jin, Pria dewasa berumur tigapuluhan.

Woo Jin sudah terbiasa dengan penyakitnya tersebut, Ia tetap menjalani hari-hari dengan bekerja mendesain furniture di ruang kerjanya, kemudian menjualnya secara online. Woo jin merupakan furniture designer yang berbakat. Furniture rancangannya –bermerk ALX- banyak digemari dan dibicarakan para pecinta furniture, namun tidak pernah ada yang tahu sosok asli Woo jin, Sang furniture designer. Selama ini, ia selalu merahasiakan penyakitnya, Hanya ibunya dan seorang teman dekat bernama Sang Baek saja yang mengetahui penyakitnya tersebut.

Permasalahan dimulai ketika Woo Jin jatuh cinta pada Yi Soo (Han Hyo Jo), gadis yang bekerja di sebuah toko furniture yang sering ia datangi. Setiap kali Woo Jin mengunjungi toko furniture tersebut, Yi Soo selalu menyambutnya dan melayaninya dengan ramah, tidak peduli apakah saat itu ia sedang berada dalam fisik tampan atau jelek, tua atau muda. Dengan perubahan fisiknya saban hari, alih-alih menjalani hubungan dan memiliki kekasih, untuk berkenalan dan mendekati wanita saja merupakan hal yang mustahil bagi Woo Jin.

Suatu hari ketika Woo Jin terbangun sebagai pria muda nan tampan (diperankan oleh Park Soe Joon), ia pun memberanikan diri berkenalan dengan Yi Soo. Bahkan Ia rela tidak tidur selama beberapa hari demi menemui Yi Soo dan tetap dalam fisik yang sama. Sialnya, karena sudah terjaga selama berhari-hari, Woo Jin akhirnya ketiduran dan kembali mengalami perubahan fisik padahal ia mempunyai janji temu dengan Yi Soo. Sejak itu, ia kembali hanya bisa menjadi pengunjung toko furniture tempat Yi Soo bekerja dengan fisik yang berubah-ubah lagi.

Woo Jin tidak mampu lagi mengingkari perasaannya. Suatu hari, ia menemui Yi Soo dan membeberkan rahasianya. Tentu saja Yi Soo tidak mempercayai hal tersebut. Namun, Woo Jin  bersikeras mengajak Yi Soo kerumahnya dan menginap untuk menyaksikan secara langsung perubahan fisiknya keesokan hari. Setelah apa yang dikatakannya terbukti, Yi Soo akhirnya berusaha memercayainya dan mencoba menerima Woo Jin. Namun, permasalahan tidak berhenti sampai disitu. Yi Soo justru dihadapkan oleh masalah baru,  ketika orang-orang sekitarnya  mulai menggosipkannya suka bergonta-ganti pasangan dan ditambah lagi, rencana  pernikahan yang tidak mampu mereka wujudkan mengingat sangat mustahil bagi Yi Soo untuk memperkenalkan Woo Jin kepada keluarga dan lingkungan sosialnya. Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisah mereka?,  ada baiknya kamu tonton sendiri.

Memproduksi film dengan genre fantasi seperti ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Namun tidak berarti tidak mungkin, terbukti rumah produksi Next Entertaiment World  berkolaborasi dengan Yong Film terlihat sangat niat meremake film ini. Tidak tanggung-tanggung dua puluh satu aktor dan artis kenamaan korea digandeng untuk memerankan lakon Woo Jin. Tidak salah kiranya kalau begitu banyak penikmat film yang menantikan tontonan bertabur bintang ini.  Di  babak pembuka, jalan penceritaan The Beauty inside cenderung lancar dan aman sejak menit pertama. Sinematografi film terasa sangat sederhana, hal yang terasa wajar karena setting tempat, waktu, dan plot, tidak mengharuskan film ini memiliki sinematografi yang mewah. Sesekali terselip adegan-adegan kecil yang memancing gelak tawa,-seperti saat Yi Soo berkencan dengan Woo Jin dalam tubuh anak kecil, dan secara diam-diam mengisi soju dalam botol susunya  atau saat Woo jin, berada dalam fisik gadis cantik (diperankan Park Shin Hye)  dan sang teman dekat Sang Baek, begitu tertarik kepadanya-. Namun, diparuh akhir film, penceritaan menjurus serius, dan lebih berfokus mengeksplorasi karakter Yi Soo, yang begitu dilanda dilema.

Secara personal, dan tentu saja subjektif, The Beauty Inside merupakan film yang bagus dan sederhana namun sarat pesan bagi saya. Terlebih lagi, scene-scene yang lumayan sedih tidak di visualkan secara cengeng dan berlebihan, sungguh benar-benar sederhana. Jadi film ini lumayan recommended sebagai tontonan dikala santai. Sangat mudah bagi saya untuk terhubung dan berempati dengan seorang Yi Soo. Bagaimana sulitnya memiliki kekasih dengan wajah yang berubah-ubah setiap hari.  Hal tersebut tentu saja tak lepas dari kinerja Han Hyo Jo sebagai leading female di film ini. Aktingnya patut diacungi jempol, Han Hyo Jo mampu menjaga konsistensi chemistry dengan begitu banyak aktor berbeda yang memerankan Woo Jin sepanjang durasi film. Namun, -lagi-lagi secara personal- sangat sulit  bagi saya terhubung dengan karakter Woo Jin, mengingat sepanjang film ia selalu berubah-ubah. Sepanjang durasi film, para aktor yang memerankan Woo Jin, bisa jadi hanya tampil dalam hitungan menit saja. Namun ada beberapa aktor yang memberikan akting berkesan sewaktu memerankan karakter Woo Jin di antaranya Park Soe Joon dan Lee Jin Wook.

Selain deretan leading cast yang sedemikian banyak itu, apresiasi juga patut dipersembahkan  kepada Baek Jong Yeol sang sutradara. Meski berthema fantasi, sang sutradara mampu mengejawantahkan plot cerita dengan baik sehingga masalah percintaan demikian terkesan relevan dengan masalah percintaan pada umumnya di dunia nyata. Kita pasti menyadari, pada dasarnya seseorang selalu membutuhkan waktu untuk kemudian mempunyai perasaan dan mencintai seseorang yang bahkan secara fisik tidak berubah signifikan dalam waktu yang lama, lalu bagaimana pula kah mencintai seseorang dengan fisik yang berubah setiap hari?

Betapa pentingnya memiliki hati yang cantik, karena fisik yang cantik (bahkan pada manusia normal seperti kita) kapan saja bisa berubah. Secara implisit, kurang lebih begitulah pesan yang ingin disampaikan film ini kepada penonton. Meski terlalu telat untuk mereview, The beauty Inside really recommended movie. Empat bintang untuk film ini. Selamat menonton, dan selamat mencintai, Everyone!

Iyat

Juli 2017

Kamis, 19 Januari 2017

1st week

Baru saja kujalani..
Hatiku mulai patah-patah
Jiwaku meragu demikian hebat
Pilihan tetap saja pilihan
Seberapa jelikah  kita mengambil keputusan?

Seandainya aku demikian berusaha
Seandainya aku tidak dibutakan hasrat yang setengah-setengah
Mungkin bukan ini hasil akhirnya

Atau aku  begitu bodoh dan naif?
Atau aku tak terlalu mendalam mengenal rasa syukur

Entah
Tuhan saja yg tahu
Aku hanya terus menerka-nerka
Apakah ini pantas?
Apakah ini sudah tepat jalannya?

Rasanya aku kembali tersesat

Yattt
19 januari
Kembali merindukanmu