"Cinta itu indah, Minke. Juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya" -Jean Marais-
Film
dibuka dengan narasi perihal kegalauan Minke, seorang pemuda jawa ningrat
terpelajar (diperankan oleh Iqbaal Ramadhan) menyaksikan masuknya moderninsasi,
serta serbuan teknologi eropa ke tanah kelahirannya yang tentu berdampak pada
kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kolonial dengan kaum bumiputera.
Suatu hari Minke diajak oleh seorang teman indonya sesama siswa HBS, Suurhof
(diperankan oleh Jerome Kurnia) bertandang ke kerumah teman Suurhof bernama
Robert Mellema (Giorgino Abraham). Disana Minke berkenalan dengan adik
perempuan Robert, Annelise Mellema (Mawar De Jongh) dan diajak berkeliling
rumah hinga akhirnya bertemu pula dengan sang ibu yang ternyata seorang pribumi
jawa yang bisa dipanggil Nyai Ontosoroh (Sha Inne Febriyanti).
Tidak
butuh waktu lama bagi Minke untuk jatuh hati pada Ann, panggilan akrab Annelise
Mellema. Setali tiga uang, Sang ibu Nyai Ontosoroh yaang juga menyukai
kecerdasan Minke kemudian menyuratinya dan mengundangnya kembali untuk menemani
sang putri. Minke kemudian mengamini undangan tersebut. Dari kebersamaan dengan
Ann pula, akhirnya Minke mulai mengetahui kenyataan yang membuatnya tercengang.
Perihal ibunda Ann, Nyai Ontosoroh yang ternyata hanya seorang gundik
yang dibeli sang ayah yang seorang belanda, namun memiliki kecakapan mengelola
usaha perkebunan dan usaha lainnya. Semakin mengenal Nyai Ontosoroh, semakin
Minke mengaguminya. Caranya bekerja, bertuturkata, serta wibawa dan
pembawaannya yang elegan menunjukkan kalau Nyai bukanlah gundik biasa seperti
yang sering Minke temui. Kekagumannya tersebut pulalah yang kemudian Minke
tuangkan dalam tulisannya di sebuah harian yang biasa memuat
tulisan-tulisannya.
Konflik
film mulai menampakkan wujudnya ketika Minke semakin terlibat dalam prahara
keluarga Mellema, terlebih semenjak terbunuhnya Herman Mellema, ayah Ann -yang
bertabiat buruk dan pemabuk- di sebuah rumah bordil yang mengakibatkan Nyai dan
Ann dituduh menjadi tersangka meskipun pada akhirnya dinyatakan tidak
bersalah.
Setelah
mengalami banyak rintangan, Minke akhirnya bisa menikahi Ann, dan turut membantu
mengelola bisnis keluarga Mellema. Namun konflik lain muncul, Kali ini Minke
beserta Nyai Ontosoroh harus berjuang mempertahankan bisnis yang
dipermasalahkan oleh anak Herman Mellema dari istrinya yang sah di Belanda.
Permasalahan tersebut berbuntut panjang, merembet ke masalah hak asuh Annelise
dan status pernikahan Minke-Ann yang mau tidak mau membuat Minke beserta
Nyai Ontosoroh harus berhadapan dengan pengadilan dan hukum eropa yang
sangat diskriminatif.
Sejak
awal memasuki gedung bioskop, dan setelah diperingati oleh si mbak-mbak penjual
tiket kalau film ini akan berdurasi selayaknya film india, saya sudah sangat
siap untuk menyaksikan film ini dengan penuh antisipasi. Saya menyadari bahwa
mengadaptasi sebuah karya sastra monumental hasil gubahan penulis legendaris
menjadi sebuah suguhan layar lebar tentu bukanlah perkara yang mudah. Terlebih
lagi, karya besar itu sudah berumur empatpuluh tahun lamanya dan tentu memiliki
basis pembaca setia dengan beragam ekspektasi yang mereka pasang. Namun sikap
antisipatif dan kecemasan itu terburai kala selesai menyaksikan film ini. Saya
mulai dapat memaklumi mengapa durasi Bumi Manusia memuai panjang hingga tiga
jam lamanya. Betapa kompleksnya narasi yang ingin disampaikan oleh si pembuat
film dalam rentang waktu tiga jam tersebut. Romantisme kisah cinta
Minke-Annalise memang merupakan inti cerita. Akan tetapi, kisah merekalah yang
kemudian menggiring penonton pada begitu banyak problema yg terjadi pada
masa itu. Penindasan, diskriminasi bangsa kolonial terhadap pribumi, perbudakan
perempuan, dan masalah kemanusiaan lainnya turut pula dituturkan si pembuat
film.
Hanung
Bramantyo adalah sineas film yang dapat dikatakan cukup beruntung mendapat
kesempatan untuk menghidupkan Roman Bumi Manusia ini kedalam media layar lebar,
setelah sebelumnya karya sastra ini sempat ditawar oleh sineas luar negeri
namun ditolak oleh sang penulis, Pramoedya Ananta Toer. Rekam jejak
Hanung menggarap film berlatar sejarah, kali ini memang bisa dijadikan
jaminan. Storytellingnya berjalan lancar lagi ringan. Pergerakan
konflik yang dialami Minke, sang tokoh utama pun terasa dinamis. Bumi manusia,
roman cinta limaratusan halaman yang cenderung dinilai sebagai bacaan 'berat'
itu kemudian bertranformasi sebagai sebuah karya layar lebar yang epik dan
mampu mengikat atensi. Meski di paruh terakhir, sedikit terasa keteteran dengan
scene-scene kelewat manis antara Minke dan Ann pasca menikah, namun bumi
manusia kembali mendapatkan ritmenya di penghujung akhir film.
Penuturan
kisah yang indah tidak akan sempurna, jika tidak didukung oleh lakon yang baik
oleh jajaran cast yang mumpuni pula. Meski di awal pemilihannya sempat menuai
kontroversi dan sempat diragukan, sekali lagi -setelah Dilan 1990 (2018)- Iqbaal
menunjukkan kepada penonton bahwa ia bukan pilihan yang keliru.
Kepiawaiannya berakting jelas menunjukkan peningkatan yang signifikan. Meski
sedikit terasa canggung di beberapa scene dramatik, Namun Iqbaal tetap mampu mempertontonkan
olahperan yang cukup baik. Mawar De Jongh, Ayu Laksmi (memerankan ibunda Minke)
beserta pemeran pendukung lainnya juga berhasil menyeimbangkan lakon dengan
baik bersama pemeran utama. Selain itu, rahasia kekuatan Bumi Manusia terletak
pada kemampuan Sha Inne Febriyanti. Dia lah energi yang meniupkan ruh pada film
ini. Seolah-olah ia memanglah Sang Nyai yang tegar dan penuh luka nestapa, yang
mampu membuat hati penonton terenyuh dan berempati pada kisahnya. Harus diakui,
Sha Inne merupakan salah satu cast film ini dengan lakon yang paling cemerlang.
Akhir
kata, mari kita ucapkan terimakasih untuk Hanung Bramantyo beserta Falcon
Pictures yang telah berupaya menuturkan kisah ini dengan cukup baik. Juga memanjatkan
rasa syukur kepada yang Mahakuasa atas kesempatan untuk mencicipi tuturan kisah
indah ini. Ya, betapa beruntungnya kita hari ini, di masa ini, dapat dengan
bebas menikmati, dan dengan lebih luwes
mengapresiasi karya ini –bahkan sumber materi aslinya, novel roman Bumi
Manusia dan seri lainnya dalam tetralogi
Pulau Buru- tanpa perasaan was-was diciduk dan mendekam di bui seperti era orde
baru lalu.
Selamat Menonton, dan selamat menikmati kerupawanan Iqbaal.
Iyat
230819