Selasa, 24 Juli 2018

Diam Barangkali Lebih Bijak

Ia ingin menjeda komunikasi dan berhenti mendengar. Belakangan semua yang ia dengar hanya mencipta luka. Dan tidak ada balasan yang dapat ia lontarkan. Percuma.  Belajar dewasa ternyata membuatnya terlalu banyak membuang-buang air mata.

Kemudian ia mengingat-ingat. Apakah dulu, sewaktu seusia anak itu,  mulutnya pernah seberbisa itu? Melontarkan kalimat berefek samping sakit hati kepada seseorang yang lebih tua? Ia tidak ingat. 

Ia hanya mengingat seseorang yang lebih tua. Yang sewaktu kanak-kanak begitu diidolakannya dan dijadikannya cermin. Mengatakan hal-hal yan menghancurkan hatinya, juga sebagian mimpinya.  Melemahkan mentalnya. Dengan vonis-vonis sakti seolah ia tak layak hidup. Kata-kata yang terlalu sukar untuk dilupakan begitu saja bahkan mempengaruhi hari-harinya hingga kini.  Hingga ia kadang ingin memaki dan memusuhi diri sendiri karena mengamini vonis-vonis itu. Namun sekarang ia belajar, bahwa manusia hidup sesuai porsinya masing masing. Ia belajar bahwa seseorang yang lebih tua itu tak bisa ia jadikan cermin. Mereka berbeda.  Ia memang begini adanya. Setelah itu ia belajar memaafkan. 

Kemudian hari ini ketika telah dewasa.  Seseorang yang lebih muda darinya mengulang hal demikian. Ia tak mengerti isi hati dan isi kepala anak itu, hingga ia sering sekali mengeluarkan kata-kata berbisa.  Memberi perlawanan tajam. Mendebat demikian sarkas. Kalimat demi kalimat sinis saban hari yang tak lagi dapat ditolerir telinganya. Akhirnya, ia paham betul lidah tidak bertulang.  

Itulah mengapa hari ini ia ingin sendirian. Menangis. Ia tidak butuh dimengerti bahkan ditemani. Hari-harinya sudah melelahkan. Lantas ketika pulang ia harus mendengar kalimat-kalimat menyakitkan hati dan bentakan-bentakan dari orang yang lebih muda namun tidak dewasa itu.  Anak itu pintar.  Namun pintar tidak selamanya bisa dijadikan pemakluman baginya.  Ia ingin sekali mendengar kesantunan dalam jawaban anak itu.  Tapi mungkin mustahil. Setiap usaha komunikasinya dihajar dengan bantahan-bantahan kasar. Telinganya mendengar, hatinya sakit. Ia enggan berkomunikasi lagi.  Ia ingin diam.  Ia ingin abai. Tanpa debat kusir yang kemudian berujung luka hati.  Diam barangkali lebih bijak



24 Juli 2018,
Di Loteng rumah dengan angin dingin menusuk tulang yang terasa lebih santun ketimbang kalimat sarkas anak itu. 

Iyatt

Minggu, 11 Maret 2018

Tumblr dan Kenangan Kita


Berita pemblokiran Tumblr oleh Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) terkait ramainya content pornografi di laman tersebut sepertinya sedang hangat-hangatnya. Sejak mengetahui beritanya, saya langsung mengecek akun tumblr saya di smartphone, dan benar saja, akun saya tidak bisa lagi dibuka. 

Sekedar berbagi cerita, saya hanyalah pendatang baru di tumblr.  Sebelumnya saya lebih aktif di laman blogger jika ingin menulis,  mereview buku,  mereview film,  bahkan curhat.  Tumblr saya pun hanya berisi beberapa kumpulan puisi.  Namun,  pemblokiran laman ini tentu saja mengecewakan saya dan jutaan pengguna tumblr di luar sana. Rasanya sangat tidak fair,  hanya karena ulah segelintir oknum yang memuat content-content asusila di laman tersebut, para pengguna tumblr lainnya ikut terkena imbasnya dan harus kehilangan kenang-kenangan dan tulisan-tulisan mereka. 

Tumblr memang tidak sepopuler instagram,  twitter, dan facebook, serta bukan pula satu-satunya platform blogging di jagat maya ini. Namun tidak ada jaminan jika sosial media serta platform blogging lainnya yang bersih dari content asusila. 

Bagi saya pribadi, pemblokiran bukanlah satu-satunya solusi.  Terlalu dangkal rasanya jika pemberantasan pornografi dilakukan hanya dengan memblokir sebuah situs. Disisi lain, banyak sekali pengguna tumblr yang memanfaatkan laman ini sebagai media untuk menyebarkan hal-hal positif. Jumlahnya mungkin tidak sebanding dengan 360 akun bermuatan negatif yang digembar-gemborkan menjadi dalang pemblokiran itu. 

Jadi buat teman-teman pengguna tumblr, para warganet yang budiman, dan pecinta platform blogging lainnya, jika berkenan, sudilah kiranya, untuk membantu menandatangani petisi anti pemblokiran tumblr di www.change.org. link situsnya juga saya cantumkan di linimasa twitter saya @YatiFitri.  Terimakasih. 

Maret 2018
Iyat










Rabu, 28 Februari 2018

Review Film Dangal (2016) : Kisah Gulat dan Wonderwomen India yang Menginspirasi


"Mengekarkan tubuh, belum tentu jadi pandai bergulat" Mahavir Singh Phogat-

Halo Movielover,  habis nonton film apa nih? Kalau bioskop-bioskop tanah air kayaknya lagi diramein film-film bergenre romance edisi valentine. Atau kamu-kamu masih menderita demam Dilan 1990 yang hype nya nyaris nggak pernah habis? Kalo saya sudah membelot ke Negeri Hindustan dan kembali melahap film-film Bollywood. Kemaren-kemaren habis nonton 'Dangal'. Bukan film baru sih, tapi karena personally,  bagus pake banget,  akhirnya muncul keinginan untuk mereview. Yuk,  Cekidot.

Dangal merupakan film berthema olahraga gulat yang diluncurkan Aamir Khan Production bekerjasama dengan Disney akhir tahun 2016 silam. Meskipun beberapa bulan sebelumnya,  Bollywood sudah diramaikan dengan film berthema serupa (Sulthan,  yang diperankan oleh Salman Khan), namun Dangal kabarnya, tetap mampu menarik jutaan penonton berbondong-bondong menyaksikannya.

Karya Bollywood satu ini merupakan film biopik yang mengangkat kisah hidup seorang mantan pegulat india bernama Mahavir Singh Phogat (diperankan oleh Aamir Khan) serta perjuangannya mengantarkan kedua putrinya Geeta Kumari Phogat (Fatima Sana Shaikh) dan Babeeta Kumari Phogat (Sanya Malhotra) ke puncak kesuksesan sebagai atlet gulat wanita yang berprestasi di kancah internasional. 

Film dibuka dengan tuturan kisah hidup Mahavir muda yang mau tak mau harus meninggalkan dunia gulat dan menerima tawaran sebagai pekerja kantoran lantaran berkarir sebagai atlet gulat tidaklah menjanjikan secara finansial.  Tak hanya sampai disitu,  Mahavir juga terpaksa melupakan impiannya untuk mengharumkan nama tanah air karena selama karirnya sebagai atlet nasional ia tidak sempat menyumbangkan medali emas untuk negeri hindustan tercinta. 

Mengubur impian besar yang sudah mengakar kuat tidaklah semudah itu. Mahavir yang merasa terlambat untuk menggapai impiannya kemudian memiliki niat melungsurkan cita-cita tersebut kepada penerusnya.  Ia bertekad, apapun yang terjadi, kelak putranya harus menjadi atlet gulat seperti dirinya dan meneruskan impian masa lalunya untuk menyumbangkan emas kepada negara. 

Namun, sangat disayangkan,  meski berbagai usaha telah dilakukan oleh Mahavir untuk mendapatkan anak lelaki,(termasuk ritual-ritual tidak masuk akal yang dianjurkan warga desa), keempat anaknya terlahir perempuan. Mahavir sempat putus asa,  dan memilih kembali mengubur impiannya untuk selama-lamanya,  sampai terjadilah sebuah insiden yang melibatkan putri pertamanya, Geeta serta putri keduanya, Babeeta. Setelah insiden itu Mahavir mulai menyadari bahwa darah gulat tidak berhenti pada dirinya melainkan mengalir ditubuh kedua putrinya tersebut.  Setelah insiden tersebut,  akhirnya Mahavir membuat keputusan yang cukup kontroversial pada masa itu yaitu mulai mendidik kedua putrinya untuk menjadi pegulat profesional.

Usaha mahavir tidak semudah yang dibayangkan. Demi mendidik kedua putrinya menjadi pegulat, ia seakan-akan melawan satu dunia. Di desa kecil di daerah benama Haryana yg konservatif itu, perempuan bergulat merupakan hal yang aneh dan tabu. Namun Mahavir seperti tidak peduli,  Dengan tentangan berbagai pihak, cemoohan dari warga desa, serta keterbatasan dana,  Mahavir kekeuh pada keputusannya untuk kembali merebut impiannya yang sempat terkubur, mengantarkan kedua putrinya merengkuh medali emas untuk negara melalui gulat.  

Review :
Bagi pecinta film bollywood, tentu tidak asing lagi dengan aktor senior Aamir Khan. Nama besarnya seolah menjadi jaminan akan kualitas sebuah karya layar lebar yang sayang untuk dilewatkan. Ditambah lagi,  beberapa tahun terakhir, beberapa film jebolan rumah produksinya meraih apresiasi yang positif dari para kritikus dan penikmat film. Sebut saja Taare zameen phar (2007) yang mengharu biru itu. Kalau kamu terhanyut dan terhibur selama menyaksikan keseruan Three Idiot (2009), PK (2014), dan bagaimana menegangkannya Ghajini (2008) dan Thalaash (2012), maka Dangal adalah Salah satu karya Aamir Khan lainnya yang sangat sayang untuk dilewatkan. 

Di belasan menit pertama, Dangal sudah sangat mencuri perhatian, penonton diajak larut dalam keseharian Mahavir, Sang mantan pegulat, nun jauh di salah satu desa kecil di India sana. Meskipun telah lama meninggalkan arena gulat, namun gulat tidak pernah benar-benar hilang dari hidupnya,  sepulang bekerja biasanya ia masih sering menyaksikan pertandingan gulat jalanan di desanya atau di desa sebelah pada masa itu.  

Meskipun jalan cerita Dangal menggunakan alur maju yang sangat sederhana.  Pengisahan mengalir lancar dengan plot yang padat berisi. Di seperempat awal film,  tiap menitnya,  penonton disuguhkan aktivitas Mahavir melatih kedua putrinya, Geeta dan Babeeta dengan cara yang keras namun mengesankan. Atas didikannya lah,  Geeta dan Babeeta kelak bertranformasi dari sepasang gadis india biasa menjadi atlet gulat yang tidak hanya tangguh di arena gulat namun juga teguh pada prinsip, berprestasi dan mandiri.  Sesuatu yang agaknya langka di sebuah negara bernama India pada masa itu. 

Lantas apa kelebihan film ini dibanding film berthema olahraga lainnya? Yang saya tangkap,  Dangal, dalam penuturan kisahnya,  tak segan-segan menyelipkan sentilan sentilun bahkan sindiran terhadap realitas sosial yang senantiasa terjadi di negeri itu, semisal sistem feodal yang dianut masyarakat setempat bahkan lingkungan sosial yang sangat kental akan budaya patriarki. Meski tidak sesensitif isu sosial yang diangkat PK (2014), Dangal dengan cara tersendiri,  secara tidak langsung mengumandangkan Women Empowerment, pesan-pesan  kesetaraan gender serta mengkritisi budaya patriarki yang masih kental di negeri tersebut. Ditengah plot yang padat berisi itu pula, Dangal senantiasa mengutarakan ke publik problema dunia olahraga yang selalu diderita oleh negara-negara berkembang (termasuk indonesia,  mungkin? ) yaitu perihal rendah kesejahteraan para atlet dan masalah bebagai federasi olahraga yang telah lama disusupi budaya korupsi.  

Kelebihan Dangal lainnya adalah jajaran pemain dari departemen akting yang masing-masing menampilkan kemampuan olahperan terbaik mereka.  Meski banyak diisi oleh wajah-wajah baru. Pemain-pemain baru debut ini mampu menunjukkan kualitas acting yang patut diapresiasi. Menonton tiap scene fighting mereka di arena gulat membuat penonton yakin bahwa mereka seakan-akan atlet gulat sungguhan. Demikian pula  dengan scene-scene gulat yang ditampilkan, selalu seru, menegangkan,  dan mengikat atensi penonton. Saya yang tidak terlalu suka serta tidak tahu-menahu dengan combatsport yang satu ini pun dibuat larut dalam pertandingan demi pertandingan gulat tersebut. 

Yakinlah, durasi panjang ala film-film bollywood yang terkadang boring, tidak berlaku di film satu ini. Dangal mampu menjaga ritme film menjadi tidak membosankan dan tetap menghibur. Disamping itu, meski bercerita tentang gulat,  film ini tidak hanya bisa dinikmati oleh para pecinta gulat saja melainkan oleh seluruh lapisan penonton penyuka genre apapun. 

Akhir kata, lima bintang untuk film bollywood satu ini. Lima bintang untuk Aamir Khan yang selalu selektif memilih peran, selektif memproduseri sebuah karya layar lebar serta total dalam berakting.  Harus diakui,  Aamir Khan adalah salah satu aktor terbaik yang dimiliki industri perfilman india. Dan makin kesini, Bollywood makin cemerlang saja.  Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya,  nggak cuma produktif secara kuantitas,  tapi juga baik secara kualitas. Dangal sudah membuktikannya. Sangat inspiratif, penuh energi,  mengharubiru, serta membangkitkan semangat positif. Banyak pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik dari karya satu ini. Sangat recommended sekali. Percayalah,  rekam jejak sang bintang, Aamir Khan yang menjanjikan itu tidak akan mengecewakanmu. 

Sekali lagi,  selamat menonton. 

Iyatt
28 februari 2018

Rabu, 07 Februari 2018

REVIEW FILM : Dilan 1990 (2018)

"Jangan rindu Milea,  Berat. Kamu tak akan kuat. Biar aku saja" -Dilan-


Sebenarnya sudah agak terlambat bagi saya untuk mengulas film yang paling ramai diperbincangkan oleh para penikmat film belakangan ini, mengingat saya menontonnya di hari perdana tayang di bioskop pada tanggal 25 januari kemarin, sembari berjubel dengan puluhan remaja usia belasan tahun dengan antusiasme luar biasa. 

Oke, mari kita ulik sedikit jalan ceritanya. Milea (Diperankan oleh Vanesha Prescilla) bernarasi tentang kisah percintaannya di kala SMA puluhan tahun silam, ketika baru pindah sekolah ke Kota Bandung. Yang kemudian menarik ialah narasi Milea selalu terpusat seputar Dilan (Diperankan oleh Iqbaal Ramadhan), seorang siswa populer di sekolah barunya yang dikenal sebagai anak geng motor yang berandal. Dilan yang terkenal urakan, melalui tingkahnya yang nyeleneh dan susah ditebak, serta kelakuannya yang sok puitis bak pujangga berhasil membuat Milea jatuh hati meski pada saat itu,  ia sudah mempunyai kekasih di jakarta bernama Benny (Brandon Salim). Permasalahan lain muncul,  Dilan yang populer ternyata punya banyak saingan, Nandan sang ketua kelas dan Kang Adi,  guru les privat Milea ternyata juga menyukai Milea. 

Meledaknya novel Dilan 1990 di pasaran, tampaknya membuat sang penulis, Pidi Baiq bersemangat untuk mengangkat kisah ini ke media visual alias layar lebar dengan ikut bantu-bantu di kursi penyutradaraan. Tak puas sampai disitu,  sang penulis juga turut campur dalam penulisan naskah dan pemilihan karakter utama. Dipilihnya Iqbaal dan Vannesha yang terbilang masih baru di dunia perfilman tentu menimbulkan pro dan kontra para pecinta novel Dilan. Seperti yang kita ketahui,  mengadaptasi sebuah novel best seller bagaikan dua sisi mata uang. Disatu sisi, harapan pembaca untuk menyaksikan tokoh rekaan dalam novel menjadi sosok nyata dalam film terwujud,  namun disisi lain, tidak semua pembaca dapat dipuaskan karena imajinasi pembaca tentang tokoh dan cerita tentu akan berbeda dengan apa yang diejawantahkan oleh para moviemaker.

Sedari memasuki gedung bioskop hingga ketika film akan diputar,  saya tidak memasang ekspektasi yang tinggi akan karya layar lebar satu ini mengingat trailernya yang terkesan biasa serta pengalaman terlalu seringnya saya dikecewakan film adaptasi. Namun seiring diputarnya film hingga kredit title muncul,  Dilan 1990, sebagai sebuah karya adaptasi lumayan juga, meskipun tidak seBombastis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck atau seOke Assalamualikum Beijing (bagi saya,  personally, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck masih merupakan karya adaptasi terbaik sampai saat ini). Dilan 1990, cukup berhasil menyajikan kisah cinta SMA yang sweet and classy. 

Kelemahan Dilan 1990, terletak pada jalan cerita yang datar dan konflik yang biasa saja. Pidi Baik, boleh saja setia kepada materi aslinya di novel,  namun tidak plek ketiplek copi paste apa yang ada di novel. Konflik cerita seputar pertengkaran Milea dengan Benny,  pertikaian Dilan dan Anhar yang terasa ideal di novel ketika di tranformasikan kedalam penceritaan film terkesan datar dan biasa saja. Perlu diketahui bahwa ketika novel diangkat menjadi sebuah filml layar lebar dengan media yang berbeda,  maka ia sudah merupakan karya yang berbeda pula. Penikmatnya pun kemudian ikut berubah, karena pada dasarnya tidak semua penonton sudah membaca karya cetaknya. Jadi,  pembuat film tentu sah-sah saja mengembangkan cerita dan konflik yang ada di novel.  Kelemahan lainnya ialah sinematografi yang kurang rapi dan nggak maksimal. Adegan bunda Dilan nyetir mobil ditemani Milea adalah yang paling fatal menurut saya. 

Beruntungnya,  jalan cerita Dilan 1990,  yang terasa kurang greget dan dialog demi dialog antara Dilan dan Milea -yang ketika ditransformasikan dalam media gambar menjadi  over cheesy- sepanjang durasi film terselamatkan oleh jajaran cast dari departemen akting. Iqbaal yang sejak awal diragukan kemampuan olahperannya kenyataannya mampu menunjukan kualitas berlakon yang prima.  Lihat saja ekspresi wajah, sorot mata, serta tingkahnya yang usil, penonton akan percaya bahwa ia memang Dilan yang sesungguhnya.  Meski Iqbaal belum bisa seratus persen menghilangkan image boybandnya, -dan tentu saja kurang bertampang badboy- namun kemudian mampu membuktikan bahwa ia bukanlah pilihan yang sepenuhnya salah.  Disamping itu,  Vannesha yang notabene baru debut film,  juga mampu mengimbangi akting iqbaal dan membangun chemistry yang cukup baik. 

Meski tidak meninggalkan kesan yang mendalam,  Dilan 1990, cukup acceptable untuk dinikmati. Bisa dipastikan strategi promosi Dilan 1990 yang sangat gencar berimpact pada lahirnya pasangan remaja baru bernama Dilan-Milea meskipun tidak akan sefenomenal rangga-cinta. Tak pelak, akhir-akhir ini jagad sosmed diramaikan dengan cuitan dan quotes receh ala-ala Dilan.

Anyway,  Film ini cukup recomended untuk dinikmati penonton teenager agar mengetahui bagaimana klasiknya percintaan remaja generasi 90an. Penikmat film yang termasuk dalam golongan 25++ juga tidak ada salahnya menonton,  Dilan dkk akan mengajakmu bernostalgia kembali dengan kisah cinta masa SMA. 

Cukup tiga bintang untuk Dilan-Milea. Jangan banyak banyak. Nanti berat.  Kalian nggak akan kuat. 

Happy Watching

Iyatt
8 februari 2018