Rabu, 07 Februari 2018

REVIEW FILM : Dilan 1990 (2018)

"Jangan rindu Milea,  Berat. Kamu tak akan kuat. Biar aku saja" -Dilan-


Sebenarnya sudah agak terlambat bagi saya untuk mengulas film yang paling ramai diperbincangkan oleh para penikmat film belakangan ini, mengingat saya menontonnya di hari perdana tayang di bioskop pada tanggal 25 januari kemarin, sembari berjubel dengan puluhan remaja usia belasan tahun dengan antusiasme luar biasa. 

Oke, mari kita ulik sedikit jalan ceritanya. Milea (Diperankan oleh Vanesha Prescilla) bernarasi tentang kisah percintaannya di kala SMA puluhan tahun silam, ketika baru pindah sekolah ke Kota Bandung. Yang kemudian menarik ialah narasi Milea selalu terpusat seputar Dilan (Diperankan oleh Iqbaal Ramadhan), seorang siswa populer di sekolah barunya yang dikenal sebagai anak geng motor yang berandal. Dilan yang terkenal urakan, melalui tingkahnya yang nyeleneh dan susah ditebak, serta kelakuannya yang sok puitis bak pujangga berhasil membuat Milea jatuh hati meski pada saat itu,  ia sudah mempunyai kekasih di jakarta bernama Benny (Brandon Salim). Permasalahan lain muncul,  Dilan yang populer ternyata punya banyak saingan, Nandan sang ketua kelas dan Kang Adi,  guru les privat Milea ternyata juga menyukai Milea. 

Meledaknya novel Dilan 1990 di pasaran, tampaknya membuat sang penulis, Pidi Baiq bersemangat untuk mengangkat kisah ini ke media visual alias layar lebar dengan ikut bantu-bantu di kursi penyutradaraan. Tak puas sampai disitu,  sang penulis juga turut campur dalam penulisan naskah dan pemilihan karakter utama. Dipilihnya Iqbaal dan Vannesha yang terbilang masih baru di dunia perfilman tentu menimbulkan pro dan kontra para pecinta novel Dilan. Seperti yang kita ketahui,  mengadaptasi sebuah novel best seller bagaikan dua sisi mata uang. Disatu sisi, harapan pembaca untuk menyaksikan tokoh rekaan dalam novel menjadi sosok nyata dalam film terwujud,  namun disisi lain, tidak semua pembaca dapat dipuaskan karena imajinasi pembaca tentang tokoh dan cerita tentu akan berbeda dengan apa yang diejawantahkan oleh para moviemaker.

Sedari memasuki gedung bioskop hingga ketika film akan diputar,  saya tidak memasang ekspektasi yang tinggi akan karya layar lebar satu ini mengingat trailernya yang terkesan biasa serta pengalaman terlalu seringnya saya dikecewakan film adaptasi. Namun seiring diputarnya film hingga kredit title muncul,  Dilan 1990, sebagai sebuah karya adaptasi lumayan juga, meskipun tidak seBombastis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck atau seOke Assalamualikum Beijing (bagi saya,  personally, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck masih merupakan karya adaptasi terbaik sampai saat ini). Dilan 1990, cukup berhasil menyajikan kisah cinta SMA yang sweet and classy. 

Kelemahan Dilan 1990, terletak pada jalan cerita yang datar dan konflik yang biasa saja. Pidi Baik, boleh saja setia kepada materi aslinya di novel,  namun tidak plek ketiplek copi paste apa yang ada di novel. Konflik cerita seputar pertengkaran Milea dengan Benny,  pertikaian Dilan dan Anhar yang terasa ideal di novel ketika di tranformasikan kedalam penceritaan film terkesan datar dan biasa saja. Perlu diketahui bahwa ketika novel diangkat menjadi sebuah filml layar lebar dengan media yang berbeda,  maka ia sudah merupakan karya yang berbeda pula. Penikmatnya pun kemudian ikut berubah, karena pada dasarnya tidak semua penonton sudah membaca karya cetaknya. Jadi,  pembuat film tentu sah-sah saja mengembangkan cerita dan konflik yang ada di novel.  Kelemahan lainnya ialah sinematografi yang kurang rapi dan nggak maksimal. Adegan bunda Dilan nyetir mobil ditemani Milea adalah yang paling fatal menurut saya. 

Beruntungnya,  jalan cerita Dilan 1990,  yang terasa kurang greget dan dialog demi dialog antara Dilan dan Milea -yang ketika ditransformasikan dalam media gambar menjadi  over cheesy- sepanjang durasi film terselamatkan oleh jajaran cast dari departemen akting. Iqbaal yang sejak awal diragukan kemampuan olahperannya kenyataannya mampu menunjukan kualitas berlakon yang prima.  Lihat saja ekspresi wajah, sorot mata, serta tingkahnya yang usil, penonton akan percaya bahwa ia memang Dilan yang sesungguhnya.  Meski Iqbaal belum bisa seratus persen menghilangkan image boybandnya, -dan tentu saja kurang bertampang badboy- namun kemudian mampu membuktikan bahwa ia bukanlah pilihan yang sepenuhnya salah.  Disamping itu,  Vannesha yang notabene baru debut film,  juga mampu mengimbangi akting iqbaal dan membangun chemistry yang cukup baik. 

Meski tidak meninggalkan kesan yang mendalam,  Dilan 1990, cukup acceptable untuk dinikmati. Bisa dipastikan strategi promosi Dilan 1990 yang sangat gencar berimpact pada lahirnya pasangan remaja baru bernama Dilan-Milea meskipun tidak akan sefenomenal rangga-cinta. Tak pelak, akhir-akhir ini jagad sosmed diramaikan dengan cuitan dan quotes receh ala-ala Dilan.

Anyway,  Film ini cukup recomended untuk dinikmati penonton teenager agar mengetahui bagaimana klasiknya percintaan remaja generasi 90an. Penikmat film yang termasuk dalam golongan 25++ juga tidak ada salahnya menonton,  Dilan dkk akan mengajakmu bernostalgia kembali dengan kisah cinta masa SMA. 

Cukup tiga bintang untuk Dilan-Milea. Jangan banyak banyak. Nanti berat.  Kalian nggak akan kuat. 

Happy Watching

Iyatt
8 februari 2018








Tidak ada komentar:

Posting Komentar