Senin, 14 April 2014

aku perlu alat

aku perlu alat,
untuk mengukur jarak, waktu, dan kecepatan
jarak yang harus dilalui untuk sampai pada sebuah mimpi

kecepatan  yang harus diciptakan untuk menggapai sebuah mimpi

dan aku perlu alat,
setidaknya semacam stopwacth
untuk mengukur waktu yang harus ditempuh untuk sampai pada sebuah mimpi

aku perlu alat

alat itu mungkin adalah ridho -Nya

Kamis, 10 April 2014

(-____-")

Apa hati bisa berubah kaku?, semangat semudah itu kehilangan nyawa?

Dua bulan project akhirku tergeletak tak berdaya. Koma. Mati suri. Sangkin putus asanya aku umbar cerita kemana-mana. Mayoritas nasehat  dari berbagai orang bilang " kerjain pelan-pelan". Setelah belakangan aku sempat masuk kedalam lorong waktu yang menurutku warna-warni, sekarang aku kembali menemukan diriku yang kubenci. Puncaknya mungkin sekarang. Dalam keadaan seperti ini, semuanya terasa tak pasti.

"kamu itu bukan ngerjain pelan-pelan, tapi stag!!" si alien ira selalu mampu memelorotkan jantungku sampai ke kaki. aku kesal karena perkataannya. aku kesal karena apa yang dibilangnya benar. Tapi jangankan dia aku pun nggak tau kenapa aku? motivasi itu luntur. Semangat itu menguap. Nggak mempan. Aku  bukan lagi bara yang bisa demikian dikobarkan. Bara itu basah dan sulit menghidupkan apinya.

Iming-iming liburan gratis, rencana-rencana menjelajah, planning menjadi volunteer, bahkan rencana absurd bakal terbengkalai. Sungguh, tahun ini terlalu mengenaskan. mungkin aku harus diupah-upah. tapi itu mustahil karena mam, gak tau apa itu upah-upah. 

jadi bagaimana penyelesaiannya? kemana semangat itu mengendap?

yatt, 2014

Selasa, 08 April 2014

Candle Light Dinner

Aku menatap keresahan di matamu,  Keresahan yang kuhafal, raut muka yang selalu terpeta dibenakku.
Kau tersenyum, tapi kutahu senyum itu palsu,

Kita sedang menanti hidangan makan malam, ditemani sepasang lilin mungil dan peralatan makan.
Candle Light Dinner bersamamu yang selalu kumimpikan
Romantis kelihatannya, Namun tidak yang kurasa

Gestur wajahmu seolah menyampaikan bahwa kau tak apa, bahwa kau bahagia dengan kita disini
Tapi tahukah kau? Aku lihai membaca wajah.
Sungguh,
Sungguh kutahu  ada yang ingin kau pastikan,
Ada yang ingin kau nyatakan padanya yang mungkin sebentar lagi boarding di bandara.
Ada yang ingin kau utarakan padanya yang mungkin juga setengah mati berharap kau datang mencegat keberangkatannya

Bukankah kita janji untuk saling terbuka, untuk saling jujur?
Lalu mengapa kau diam dan mencoba berdrama seolah skenarionya memang candle light dinner yang sekarang kita lakukan?
Bukankah dalam perjanjian itu tidak ada catatan bahwa jujur itu harus tak menyakiti?
Tak perlu kau sembunyikan
Skenarionya adalah, kau harus meninggalkan aku beserta lilin-lilin ini lalu secepatnya menyusulnya ke bandara

Kusentuh tanganmu, dingin, seperti darah tak lagi mengalir disana,
Kutatap bola mata kecoklatan yang selalu membuatku jatuh cinta
Kuutarakan bahwa kau harus pergi, kau harus mengutarakan padanya, kalau bisa menahannya agak tak usah pergi bersama burung besi itu..
Sungguh ini tulus, sungguh dengan ini ingin kugambarkan keikhlasan melepas,
Bukankah mencintai yang hakiki tak perlu sejalan dengan keinginan memiliki?
Aku mencintaimu, namun barangkali  dia yang menunggu dengan keragu-raguan untuk pergi lebih berhak atasmu.

Kuyakinkan kau,
Akhirnya kau beranjak dengan wajah sumringah, kali ini raut wajahmu jujur.
Kau dekap aku sekilas dan berpaling pergi,
Menyusulnya, mengutarakan sesuatu yang ingin selalu kudengar itu untukku.
sekarang aku hanya perlu memetakan dekapan palsumu tadi dalam benakku, meski itu sejenak
Bahkan sesuatu yang palsu itupun kini begitu berharga.

Hidangan kita datang.
Kali ini aku juga harus akan menghabiskan hidangan kesukaanmu, tentu tanpa nyala lilin.
Sepasang nyala lilin ini harus padamkan
Seperti cinta yang kupunya.


Yatt, 2 apr’14