Suatu hari
awal 2010
Saya masih
ingat, waktu itu saya menjalani kehidupan yang membosankan, suasana rumah yang tak
kalah membosankan, kehidupan kuliah yang
lebih membosankan lagi dan hari-hari pasca putus cinta.
Waktu itu
saya sadar suatu hal, bahwa memendam kesedihan sendiri tanpa berbagi -walau hanya
bercerita- bisa membuat jiwa raga ikut terasa sakit. Teman-teman satu-persatu pergi. Mereka mulai punya
kesibukan sendiri, kegiatan kuliah yang menyenangkan mungkin, atau pekerjaan
baru yang menyita waktu mereka. Sementara
saya terjebak dalam rutinitas yang begitu membosankan, tanpa harapan dan sejak
awal bukan menjadi pilihan saya.
Enam bulan
saya bertahan dalam keadaan itu dan akhirnya memilih memotong tali kebosanan
yang menjerat saya. Satu-satunya teman
yang masih saya miliki akhirnya merelakan saya kembali mencoba peruntungan,
seperti saya merelakan berlembar-lembar ‘privasi’
saya sebagai hadiah untuk nya atas perpisahan kami.
Suatu hari
di awal 2010
Saya masih
ingat, saat itu saya relakan seluruh
tabungan untuk mendaftar bimbingan belajar lagi. Tiga tahun memang sudah
berlalu dengan banyak kesia-siaan, dan saya berharap pada enam bulan ke
depannya.
Dan enam
bulan kedepannya adalah hari-hari yang hanya dipenuhi pembelajaran dan doa. Tak
ada hal lain selain belajar, sholat dengan kucuran airmata, dan membaca
al-quran sambil membayangkan wajah ibu. Saya tak peduli apapun sampai kemudian
saya bertemu orang-orang baru yang memberitahu bahwa harapan itu ada. Saya bertemu
mereka yang gagal namun tak kehilangan asa. Saya bertemu teman-teman yang
tulus, yang saling menyemangati dalam perjuangan. Dan saya bertemu ‘Tuhan’,
Allahu Robbi.
Dalam sulitnya
hidup enam bulan itu, susahnya menabung
rindu dan jauh dari orang-orang yang saya sayangi, dan dalam segala
keterbatasan, saya hanya ditemaniNya. Dia yang tak pernah meninggalkan saya
barang sejenak. Dia yang selama ini saya abaikan karena kesenangan duniawi. Yang
masih mendengar keluh-kesah dan masih memberi
saya kesempatan kedua setelah begitu banyak waktu saya sia-siakan.
Enam bulan
di tahun 2010 itu adalah moment yang
paling berharga sepanjang hidup saya. Moment
yang mungkin tak bisa saya ulang. Moment
yang begitu saya rindukan. Saat itu -untuk kedua kalinya setelah peristiwa si tangan
kanan- saya memercayai bahwa kesungguhan dan iman kepadaNya melalui irigan doa
akan selalu berujung baik. Segelap apapun masalalu, bagaimanapun sia sianya
hari yang terlewati. Masa depan itu masih suci.
Setelah 4
tahun berlalu,
Fitria
Tee,