Aku tersimpan dalam file rahasia
Tak ada yang tahu tentang diriku, tentang kisah kita
Bagaimana menurutmu? Apa kau juga memikirkannya?
Apa kau mempedulikan perasaanku?
Bagaimana menurutmu?
Kita hanya mengumbar cinta berdua
Tidak ada lagi yang tahu selain Tuhan
Dalam diam, dalam hening,
Apakah menurutmu aku cukup dengan sabarku?
Dunia hanya tahu kau dan dia, kisah kau dan dia, tanpa aku, tanpa
embel-embel apapun
Aku tenggelam dalam pusaran, menunggu kau menoleh dalam lengahnya
Mematuhi perkataanmu, menemanimu di waktu yang tersisa, sampai kapan?
Dunia hanya tahu kisah orang ketiga yang jahat, yang mencuri hak
orang lain
Bagaimana menurutmu?
Aku lelah menunggu
Aku lelah bersembunyi
Aku juga ingin bilang bahwa kita punya cerita
Apa aku berhak demikian
Aku hanya bisa diam, tenggelam dalam pusaran.
-Medio juni-
Dalam
Mitologi Yunani, yang Hera tahu, tokoh Hera Sang Dewi Pernikahan adalah istri
pertama Zeus. Istri yang dicintainya. Tapi dunia realita tidak demikian. Ia
hanya…, simpanan. Kekasih gelap. Tulisan diatas adalah luahannya yang
perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, disalurkan dalam coretan tinta, dan
ketikan di laptop tuanya yang setia menemani saat sang Zeusnya sedang menjalani
kisah yang lain. Yang utuh. Yang nyata. Sementara
ia adalah periode akhir sang Zeus.
Yang
Hera tahu adalah demikian membutakannya cinta, sehingga Tuhan tak memberinya
pilihan sepotong belahan jiwa yang utuh. Namun sepotong belahan jiwa yang telah
terbelah pula. Mungkin Tuhan menakdirkannya untuk menerima sisa, bahkan untuk
sepotong cinta. Tak mengapa. Hera tidak marah. Hera bisa terima. Ia tahu Tuhan
selalu mempunyai maksud yang Mahabijaksana.
Puluhan
purnama Hera hidup berdua namun sendiri. Sendiri namun berdua. Menjadi orang
ketiga. Tapi bukankah kadang cinta tak hanya cerita tentang dua orang anak
manusia? Ia bisa terima, karena terkadang cinta juga harus membuang logika.
Tak
seperti Dewi Hera dalam mitologi yunani, Hera tidak pencemburu dan
pendendam. Ia hanya seorang yang pasrah.
Seseorang yang sepi dalam cinta yang terbelah. Tapi ia selalu merasa cukup.
Zeusnya, yang tak utuhpun ia cukupkan dengan cinta dan sepotong hati yang utuh
miliknya.
Terkadang
pula cinta perih tak terperi, saat mata kepalanya menangkap Sang Zeus dengan
belahan jiwanya yag lain. Yang utuh. Yang sah. Tapi apa yang dapat ia perbuat.
Ia hanya berlakon seolah-olah semua baik-baik saja, ia tidak apa-apa dan
hatinya tidak terluka. Dan kemudian tetap menyambut Zeus di sisa waktunya,
menampung sedikit lelah dan keluh kesahnya dengan rela hati, mendampingi sepinya.
Dan ia, Dewi Hera simpanan yang tetap
menerima.
Disuatu
sore yang gerimis, disuatu sore yang sendu, saat kedua orang tuanya mengetahui
semuanya dan murka, ia hanya mampu berlari tak tentu arah. Buncah keinginannya
menemui sang zeus, membagi keluh kesah, mengatakan apa yang terjadi. Tapi apa
daya Hera? Ia tidak berhak merampas waktu sang Zeus, ia sudah berjanji hanya
menerima sisanya, bahkan jika hari inipun Zeus tidak punya sisa waktu. Ia harus
menerima.
Gerimis
semakin berubah menjadi hujan deras dan hera tak punya alasan untuk tidak
menangis, bukankah hujan mampu menyamarkan air matanya. Ia terus berjalan dengan
fikiran kosong, tak sadar sudah ditengah-tengah, dan sebuah sedan hitam siap
menyambar tubuh ringkihnya. Gelap. Gelap yang selanjutnya dapat dirasakan Hera.
Ketika
membuka mata, samar dilihatnya ruangan
serba putih. Seketika ia menangis. Ia sadar ia masih di dunia fana ini. Tuhan
bahkan masih ingin memperpanjang kehidupannya, memperdalam deritanya. Ia hanya
ingin mati, tapi ternyata ia masih harus menjalankan sisa takdirnya.
“maafkan
aku, kamu sudah tidak apa apa?” dilihatnya seraut wajah cemas itu bertanya.
Wajah yang tak asing. Ternyata wajah belahan jiwa zeus. Wajah orang yang
menerima dan berhak atas semua waktu
zeusnya. Wajah perempuan sahnya. Hera hanya mampu kembali menangis. Ia ingin
zeusnya, namun entah kenapa ia merasa tak berhak lagi.
Wanita
itu memerhatikannya, mempertanggungjawabkan semuanya. Dalam sejumput waktu masa
pemulihannya, akhirnya hera mengenal bagaimana kehidupan zeus yang lain,
kehidupannya yang nyata. Yang terlalu indah untuk ia curi sedikit celahnya.
Hera mendadak ingin pergi jauh. Jauh sekali.
Aku ingin pindah dari duniamu. Dunia tentang ketidakpastian.
Aku selalu menjadi yang terakhir saat tak ada lagi telinga-telinga
yang mampu menampung kisahmu
Aku ingin pergi
Memulai kisah lain yang baru
Yang penuh harapan dan kepastian seperti yang kulihat belakangan
Tanpamu yang harus datang dan
pergi
Selama ini memang tak ada kisahku
Aku hanya pendengar
Aku tak mampu bersuara
Bukankah seharusnya dalam keramaian ini kau menyadari sesuatu?
Bahwa aku dinafikan
Aku figuran yang tidak penting dalam kisah ini
Tidakkah kau sadari dalam keramaian ini aku lelah berakting dan
bertingkah seolah aku baik-baik saja
Ternyata aku tidak baik-baik saja
Waktu itu, menjadi batas
Bahwa aku harus menghapusmu
Menghapus dari perjalananku
Ternyata aku harus kembali memungut logika
-Untuk yang terkasih, februari tahun berikutnya
yang tanpa cinta-
fitriatee, medio juni yang tanpa hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar