Senin, 04 November 2019

Review Film: Perempuan Tanah Jahanam (2019)


Dalam kisah-kisah klasik yg pernah kita dengar, iming-iming warisan seringkali menjadi alasan yang menggerakkan penceritaan. Perempuan tanah jahanam pun demikian. Maya (Tara Basro) sang tokoh sentral, diceritakan menemukan sebuah foto lawas dirinya bersama kedua orangtuanya -yang bahkan tidak diingatnya- di depan sebuah rumah besar. Rumah besar tersebut,  dan mungkin juga aset-aset lain yg dipunya keluarganya dianggap Maya sebagai peluang untuk membantunya keluar dari kehidupan ekonomi yang morat-marit beserta usahanya yang tidak berjalan lancar. 

Berangkatlah Maya dan Dini, sahabat baiknya yang turut diajak serta ke Desa Harjosari yang amat terpencil itu demi mengurus surat-surat warisan. Sesampainya disana, mereka memilih menginap di rumah besar peninggalan orangtua Maya yang sudah terbengkalai itu karena memang tidak memiliki kenalan di sana. Tatapan warga desa yang tidak welcome, kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi saban hari, serta suasana desa yang creepy mau tidak mau membuat Maya, beserta Dini harus menguak apa yang sedang terjadi di desa aneh ini. Setelah begitu banyak keanehan yg terjadi, satu demi satu potongan misteri tentang masalalu keluarga Maya terkuak. Alih-Alih mendapatkan warisan peninggalan keluarganya, Maya malah menerima malapetaka yang mengerikan.

Setelah Pengabdi Setan, dilanjutkan oleh Perempuan Tanah Jahanam ini, sudah selayaknya memang para penikmat film mengakui bahwa Joko Anwar adalah salah satu filmmaker terbaik yang dimiliki industri perfilman tanah air terlebih-lebih dalam genre horor. Joko Anwar konsisten menjaga standart dan kualitas kehororan filmnya agar tidak terjebak pola-pola klasik ala film-film horor kebanyakan. Yap, kamu nggak akan disodori penampakan-penampakan arwah or hantu yang mainstream dilakukan sineas film horor pada umumnya. Alih-alih memberikan jumpscare-jumpscare murahan sepanjang film, Joko Anwar memilih membangun setting penceritaan yang jauh lebih mencekam dan berdaya kejut tinggi. Lorong-lorong pasar gelap beserta manekin-manekin yang terpajang, bak mandi dan lukisan besar di rumah peninggalan orang tua Maya yang serba gloomy, bahkan areal pekuburan desa yang sungguh creepy justru mampu menimbulkan kengerian yang lebih ketimbang hantu-hantu yang berkeliaran di film-film horor kebanyakan.

Joko Anwar jelas seorang storyteller ulung. Serangkaian set mencekam yang saya narasikan di atas akan sia-sia jika bangunan ceritanya biasa saja. Namun Joko Anwar paham betul, tidak boleh ada ruang untuk kesia-siaan dalam film ini. Ia telaten menjahit bangunan cerita bahkan sejak opening. Teror di jalan tol saat opening film terasa begitu mengikat atensi. Perempuan tanah jahanam berhasil memberikan awal yang baik. Guliran kisah selanjutnya menunjukkan eskalasi yang sangat baik. Tiap adegan punya konteks dan sebab akibat yang jelas, sehingga tindakan-tindakan dan keputusan yg dilakukan para tokoh terasa tepat dan logis.

Kebengisan Joko Anwar tidak hanya sampai disitu, melalui tokoh-tokohnya ia menvisualisasikan adegan-agedan pembantaian penuh darah secara gamblang dan tak tanggung-tanggung, pertunjukan wayang yang bernuansa suram, serta penampakan bayi-bayi yang lahir mengenaskan. 

Kekuatan lain dari film ini adalah lakon maksimal dari para pemain tentunya. Kamu akan mudah berempati pada kemalangan demi kemalangan yang menimpa Maya, jatuh cinta pada karakter Dini yang kocak dan ceriwis, serta tersentuh dengan kebaikan hati Ratih. Kredit khusus mari kita sematkan pada akting cemerlang Cristine Hakim, yang bahkan tatapan matanya saja sudah membuat penonton bergidik. Ya, jam terbang dan pengalaman tentu berbicara banyak dan bisa dijadikan jaminan.

Terakhir mari kita haturkan pujian dan rasa terimakasih kepada Dalang di balik kejahanaman semua ini, Joko Anwar sang sutradara. Terimakasih telah membuat kami, para penonton cemas sepanjang film. Terimakasih sudah membawa kami ke Desa yang benar-benar jahanam itu. Kami kapok sekaligus senang menikmati karya-karya seperti ini.

Buat yang ingin nonton, masih ada waktu untuk singgah ke bioskop. Selamat menonton, Joko Anwar akan dengan senang hati memandumu kepada serangkaian kejahanaman itu. 

Yatt
051119

Jumat, 23 Agustus 2019

REVIEW FILM : Bumi Manusia (2019)



"Cinta itu indah, Minke. Juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya" -Jean Marais-






Film dibuka dengan narasi perihal kegalauan Minke, seorang pemuda jawa ningrat terpelajar (diperankan oleh Iqbaal Ramadhan) menyaksikan masuknya moderninsasi, serta serbuan teknologi eropa ke tanah kelahirannya yang tentu berdampak pada kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kolonial dengan kaum bumiputera. Suatu hari Minke diajak oleh seorang teman indonya sesama siswa HBS, Suurhof (diperankan oleh Jerome Kurnia) bertandang ke kerumah teman Suurhof bernama Robert Mellema (Giorgino Abraham). Disana Minke berkenalan dengan adik perempuan Robert, Annelise Mellema (Mawar De Jongh) dan diajak berkeliling rumah hinga akhirnya bertemu pula dengan sang ibu yang ternyata seorang pribumi jawa yang bisa dipanggil Nyai Ontosoroh (Sha Inne Febriyanti).

Tidak butuh waktu lama bagi Minke untuk jatuh hati pada Ann, panggilan akrab Annelise Mellema. Setali tiga uang, Sang ibu Nyai Ontosoroh yaang juga menyukai kecerdasan Minke kemudian menyuratinya dan mengundangnya kembali untuk menemani sang putri. Minke kemudian mengamini undangan tersebut. Dari kebersamaan dengan Ann pula, akhirnya Minke mulai mengetahui kenyataan yang membuatnya tercengang. Perihal ibunda Ann, Nyai Ontosoroh  yang ternyata hanya seorang gundik yang dibeli sang ayah yang seorang belanda, namun memiliki kecakapan mengelola usaha perkebunan dan usaha lainnya. Semakin mengenal Nyai Ontosoroh, semakin Minke mengaguminya. Caranya bekerja, bertuturkata, serta wibawa dan pembawaannya yang elegan menunjukkan kalau Nyai bukanlah gundik biasa seperti yang sering Minke temui. Kekagumannya tersebut pulalah yang kemudian Minke tuangkan dalam tulisannya di sebuah harian yang biasa memuat tulisan-tulisannya.

Konflik film mulai menampakkan wujudnya ketika Minke semakin terlibat dalam prahara keluarga Mellema, terlebih semenjak terbunuhnya Herman Mellema, ayah Ann -yang bertabiat buruk dan pemabuk- di sebuah rumah bordil yang mengakibatkan Nyai dan Ann dituduh menjadi tersangka meskipun pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah. 

Setelah mengalami banyak rintangan, Minke akhirnya bisa menikahi Ann, dan turut membantu mengelola bisnis keluarga Mellema. Namun konflik lain muncul, Kali ini Minke beserta Nyai Ontosoroh harus berjuang mempertahankan bisnis yang dipermasalahkan oleh anak Herman Mellema dari istrinya yang sah di Belanda. Permasalahan tersebut berbuntut panjang, merembet ke masalah hak asuh Annelise dan status pernikahan Minke-Ann yang  mau tidak mau membuat Minke beserta Nyai Ontosoroh harus berhadapan dengan pengadilan dan hukum eropa  yang sangat diskriminatif.

Sejak awal memasuki gedung bioskop, dan setelah diperingati oleh si mbak-mbak penjual tiket kalau film ini akan berdurasi selayaknya film india, saya sudah sangat siap untuk menyaksikan film ini dengan penuh antisipasi. Saya menyadari bahwa mengadaptasi sebuah karya sastra monumental hasil gubahan penulis legendaris menjadi sebuah suguhan layar lebar tentu bukanlah perkara yang mudah. Terlebih lagi, karya besar itu sudah berumur empatpuluh tahun lamanya dan tentu memiliki basis pembaca setia dengan beragam ekspektasi yang mereka pasang. Namun sikap antisipatif dan kecemasan itu terburai kala selesai menyaksikan film ini. Saya mulai dapat memaklumi mengapa durasi Bumi Manusia memuai panjang hingga tiga jam lamanya. Betapa kompleksnya narasi yang ingin disampaikan oleh si pembuat film dalam rentang waktu tiga jam tersebut. Romantisme kisah cinta Minke-Annalise memang merupakan inti cerita. Akan tetapi, kisah merekalah yang kemudian  menggiring penonton pada begitu banyak problema yg terjadi pada masa itu. Penindasan, diskriminasi bangsa kolonial terhadap pribumi, perbudakan perempuan, dan masalah kemanusiaan lainnya turut pula dituturkan si pembuat film.

Hanung Bramantyo adalah sineas film yang dapat dikatakan cukup beruntung mendapat kesempatan untuk menghidupkan Roman Bumi Manusia ini kedalam media layar lebar, setelah sebelumnya karya sastra ini sempat ditawar oleh sineas luar negeri namun ditolak oleh sang penulis, Pramoedya Ananta Toer.  Rekam jejak Hanung menggarap film berlatar sejarah, kali ini memang bisa dijadikan jaminan. Storytellingnya berjalan lancar lagi ringan. Pergerakan konflik yang dialami Minke, sang tokoh utama pun terasa dinamis. Bumi manusia, roman cinta limaratusan halaman yang cenderung dinilai sebagai bacaan 'berat' itu kemudian bertranformasi sebagai sebuah karya layar lebar yang epik dan mampu mengikat atensi. Meski di paruh terakhir, sedikit terasa keteteran dengan scene-scene kelewat manis antara Minke dan Ann pasca menikah, namun bumi manusia kembali mendapatkan ritmenya di penghujung akhir film.

Penuturan kisah yang indah tidak akan sempurna, jika tidak didukung oleh lakon yang baik oleh jajaran cast yang mumpuni pula. Meski di awal pemilihannya sempat menuai kontroversi dan sempat diragukan, sekali lagi -setelah Dilan 1990 (2018)- Iqbaal menunjukkan  kepada penonton bahwa ia bukan pilihan yang keliru. Kepiawaiannya berakting jelas menunjukkan peningkatan yang signifikan. Meski sedikit terasa canggung di beberapa scene dramatik, Namun Iqbaal tetap mampu mempertontonkan olahperan yang cukup baik. Mawar De Jongh, Ayu Laksmi (memerankan ibunda Minke) beserta pemeran pendukung lainnya juga berhasil menyeimbangkan lakon dengan baik bersama pemeran utama. Selain itu, rahasia kekuatan Bumi Manusia terletak pada kemampuan Sha Inne Febriyanti. Dia lah energi yang meniupkan ruh pada film ini. Seolah-olah ia memanglah Sang Nyai yang tegar dan penuh luka nestapa, yang mampu membuat hati penonton terenyuh dan berempati pada kisahnya. Harus diakui, Sha Inne merupakan salah satu cast film ini dengan lakon yang paling cemerlang.

Akhir kata, mari kita ucapkan terimakasih untuk Hanung Bramantyo beserta Falcon Pictures yang telah berupaya menuturkan kisah ini dengan cukup baik. Juga memanjatkan rasa syukur kepada yang Mahakuasa atas kesempatan untuk mencicipi tuturan kisah indah ini. Ya, betapa beruntungnya kita hari ini, di masa ini, dapat dengan bebas menikmati, dan dengan lebih luwes  mengapresiasi karya ini –bahkan sumber materi aslinya, novel roman Bumi Manusia dan seri  lainnya dalam tetralogi Pulau Buru- tanpa perasaan was-was diciduk dan mendekam di bui seperti era orde baru lalu. 

Selamat Menonton, dan selamat menikmati kerupawanan Iqbaal.

Iyat 
230819