Kamis, 06 Februari 2014

FILM “?” (TANDA TANYA) DARI PERSPEKTIF DAN ANALISIS SOSIOLOGIS

Sebagai salah satu media sosial, film mampu untuk mengungkap, menyuguhkan, dan menghadapi masalah-masalah sosial. salah satu film karya sineas Indonesia yang mengangkat masalah–masalah sosial adalah film tanda Tanya / “?” yang rilis tahun 2011 lalu. Film ini mengangkat kehidupan sosial masyarakat multietnis dan agama disebuah kawasan pecinan di kota Semarang yang lekat dengan masalah-masalah sosial berbau SARA. 

Dalam tiap adegannya, film “?” ini mencoba menyuguhkan peristiwa demi peristiwa yang kerap terjadi disekeliling kita bahkan peristiwa tersebut pernah terjadi beberapa tahun terahir, seperti pengeboman gereja, perusakan barang orang lain dan kerusuhan antar etnis. Meskipun film “?” hanya berupa kisah fiksi, namun tokoh-tokoh fiksi beserta segala permasahan pribadinya pada dasarnya memerankan perwujudan sikap dan identitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah sosial. film ini mencoba menggambarkan betapa masyarakat Indonesia mau tidak mau memang selalu dihadapkan dengan kehidupan multikultur dan agama yang kerap menimbulkan konflik. Setiap adegan didalamnya merupakan sebuah kenyataan ditengah masyarkat yang memang perlu dimaknai. Berdasarkan perspektif sosiologisnya, film ini dianggap menyuguhkan konflik-konflik sosial agama yang dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi fungsi sosial dan sisi historis. Dari sisi historis, konflik sosial yang terjadi didalam film ini dilatarbelakangi oleh prasangka etnis maupun agama yang dibalut oleh masalah personal / pribadi seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Soleh yang bertengkar dengan Hendra lebih karena perasaan cemburu ketimbang perbedaan agama dan etnis mereka ditambah dengan tindakannya yang memimpin dan mengajak teman-temannya merusak restoran cina milik orang tua hendra ketika buka pada hari lebaran. Sedangkan dari sisi fungsi sosial, konflik yang terjadi berdampak pada perubahan. Seperti terjadi pada tokoh Hendra yang mengambil pilihan menjadi muallaf dan membuka restoran halal.Dari sudut pandang sosiologis film yang sarat akan makna agama yang mengungkapkan benturan-benturan sosial antar agama dalam masyarakat yang menjadi konflik sosial sehari-hari karena perbedaan pandangan hidup ini mengingatkan tentang arti pentingnya sikap toleransi ditengah keberagaman masyarakat Indonesia. 

Terlepas dari latarbelakang agama, suku, kelas sosial pada dasarnya kita saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain. Dengan begitu film ini secara terbuka mengajak masyarakat Indonesia menafsirkan sendiri bagaiman bersikap ditengah perbedaan yakni dengan membangun sikap toleransi di kehidupan sosial. Selain itu film ini juga mencoba menyuguhkan realitas masyarakat Indonesia yang plural agar mampu mengedepankan sikap pluralis dalam berinteraksi ditengah masyarakat majemuk, serta mengesampingkan sikap etnosentris, primordial dan menyimpan doktrin agama hanya untuk konsumsi keagamaan bukan untuk perbandingan ditengah keberagaman agama yang dianut masyarakat. Seperti sikap yang dicontohkan oleh tokoh Tan kat sun, Rika, Surya dan Menuk. 

Tan Kat Sun, seorang warga keturunan tionghoa beragama konghucu pemilik restoran cina mampu mencontohkan sikap toleransi beragama dan sikap plural yang kental. Restorannya berusaha mengakomodasikan kebutuhan makanan halal bagi warga muslim kawasan itu yang merupakan warga mayoritas. Ia memisahkan peralatan makan dan memasak yang halal dan tidak. Ia juga mempekerjakan Menuk, karyawannya yang merupakan seorang muslim yang taat dan selalu menyediakan waktu untuk menuk tetap dapat beribadah disela-sela pekerjaanya. Walaupun masih banyak warga yang meragukan kehalalan restorannya, ia mampu berbesar hati dan konsisten untuk menghargai karyawan, tetangga, dan pelanggan muslim. Sedangkan tokoh Rika seorang janda yang pindah agama menjadi katolik atas keinginan sendiri mencontohkan bagaimana berpegang pada prinsip meskipun banyak yang menentang dan tetap berfikiran terbuka. Ia tetap mampu mendukung dan mendidik Abi, anaknnya untuk mendalami agama islam tanpa berniat mengkonversi keyakinan abi. Disisi lain tokoh surya mencontohkan bagaimana tetap menjaga profesionalitas kerja dengan mengesampingkan rasa primordial namun tetap menjaga keteguhan iman dalam bekerja sebagai actor saat ia memerankan tokoh yesus di perayaan paskah meskipun ia seorang muslim.

Film ini juga menghadirkan citra NU( nahdatul Ulama) sesuai dengan realitasnya yang sangat toleransi beragama, dalam adegan saat banser NU menjaga Gereja saat perayaan paskah dan natal juga saat Soleh, salah seorang banser NU yang rela mempertaruhkan nyawanya dalam upaya pencegahan pengeboman gereja saat perayaan natal. Adegan lucunya yang lekat dalam keseharian sesekali juga dapat membuat kita tertawa, menertawakan realitas masyarakat Indonesia sebagi Negara plural namun terkadang terkesan belum siap menjadi pluralis. 

Akhirnya film ini merangkum semua adegan untuk menyampaikan pesan moral sekaligus mengingatkan masyarakat Indonesia yang fikirannya telah banyak dirasuki prasangka bahwa menjadi berbeda bukanlah sesuatu yang haram melainnkan merupakan kekayaan yang patut dihargai dan dijaga masyarakat beragam agama dan etnis dalam hidup berdampingan

fitria tee koto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar