Rabu, 13 November 2013

Mantra Ajaib dalam Tidur Panjang

Beberapa waktu lalu saya sadar, saya berada dalam sebuah lorong waktu yang gelap, sangat gelap dan terasa hampa. Saya tak melihat seberkas cahayapun, dan gelap itu terasa benar membutakan. Saya pernah begitu gelisah dan gundah karena suatu hal. Hidup datar, seperti meniti garis yang tak ada ujungnya, tak ada sekat-sekatnya. Dan saya merasa saya masih meniti garis datar itu, berjalan pelan, tanpa tujuan, tanpa riak-riak. Tak berekspektasi, tak berambisi. Perjalanan tanpa arti. 

Saya teringat beberapa tahun yang lalu, dengan rasa bosan dan sedih yang berputar-putar dalam satu pusaran, saya dengan berani mengubah arah garis lurus saya. Mencoba peruntungan memasuki sebuah masa yang saya sebut masa transisi. Masa transisi itu tak ubahnya keping logam yang punya dua sisi bertolak belakang tapi tetapi dalam satu esensi raga. Masa transisi yang luarnya begitu sulit, begitu berat, begitu sepi dan dibelenggu ketidakpastian. Tapi entah kenapa masa di dalamnya, sedikitpun tidak membuat saya merasa takut, merasa hampa. Lorong yang saya lewati masih sama gelapnya, namun entah mengapa saya merasa hati saya terang benderang. Garis yang saya titi masih sama, namun sedikitpun saya tidak merasa monoton dan bosan. Saya kembali mengingat apa gerangan yang mebuat saya begitu bisa survive dalam keadaan transisi itu. Lama saya tercenung, mendadak muncul sekelebatnya. Mantra ajaib yang dulu menolong saya di masa transisi itu adalah optimisme dan semangat. Dengan bekal mantra itu, meski kesannya utopia, abstrak, saya berani melalui masa transisi itu. 

Sekarang, saya seperti diserang dejavu, merasakan masa yang sama, meskipun tak saya sebut dengan masa transisi. Hal yang sama itu adalah gelisah dan gundah karena sebuah ketidakpastian atas sesuatu. Sesuatu yang tidak hanya saya tunggu dan begitu saya harapkan kedantangannya. Tapi juga penantian keluarga saya. Sesuatu itu perlahan berubah menjadi tuntutan, berubah menjadi beban. Tuntutan, self passion, dan harapan terkadang tak satu tujuan dan membentuk persimpangan. Sementara semesta tak mau tahu, mereka hanya butuh hasil akhir. 

 Sejujurnya, masa dejavu ini tidak seberat masa transisi yang pernah saya lalui, meski ia juga laiknya dua sisi keping logam yang sama. satu tubuh dengan dua sisi berbeda. masa ini dari luarnya berlapis tawa, berlapis canda, terbalut senyum bahagia, terkesan baik-baik saja, tapi dari dalamnya semua terasa palsu, imitasi dan peniruan belaka. Saya merasa berada di titik nadir. Tidak tahu apa yang mau diperbuat, tidak tahu apa yang mau dikerjakan, apa yang menjadi tujuan. Semua Kabur dan terselubung halimun. Semula saya merasa ini masih wajar. Namun lama-kelamaan sesuatu dalam diri saya berontak. Sesuatu dalam diri saya merasa bukan ini yang semestinya. Saya kembali memasuki lorong gelap itu ,meniti garis datar itu namun kali ini saya tidak punya amunisi apapun. Hati saya tidak benderang lagi, saya tidak punya keyakinan yang kuat. Langkah saya sempoyongan meniti garis yang masih sama datarnya. Terlalu banyak jebakan. Saya bertanya-tanya apa yang salah? Apa yang keliru dalam perjalanan dan potongan masa ke masa? Kembali saya tercenung, sekelebat saya tersadar. Ternyata yang salah adalah optimisme dan semangat yang ternyata masih dalam tidur panjang. Saya sadar ternyata selama ini mantra ajaib itu tidak pernah bangun-bangun lagi. Mereka tidak pernah punya andil lagi, mereka tidak melecut apapun dalam diri saya. Dan saya terperangkap dalam zona aman yang sesungguhnya berbahaya. Menenangkan namun mematikan pelan-pelan. 

Adakah yang bisa bantu saya membangunkan mantra ajaib ini? bagaimanakah cara saya membangkitkan kembali semangat dan optimisme yang sudah terlalu nyenyak dan terbuai mimpi??

H_E_L_P_!!!!! 

Fitria Tee Koto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar