Minggu, 01 Maret 2015

Waktu Telah Meniadakan Kita

Vin menatap nanar api yang berkobar dalam bejana di depannya, asap mengepul dan kemudian pandangannya mengabur. Pandangannya kembali jelas setelah bulir-bulir itu tumpah dari bola matanya. merembes dipipinya. Api melahap berlembar-lembar kertas. Nyatanya itu hanya bundelan kertas, tapi bagi Vin, api itu sedang melahap hidupnya.


"Mengapa aku menulis? karena aku tidak ingin waktu meniadakan memori kebersamaan kita. aku tidak ingin waktu meniadakan kita"

Vin tersenyum getir mengingat ucapanya dulu. Sekarang setelah enam tahun berlalu, ia ingin menulis sesuatu lagi. Memulai lagi apa yang begitu ia senangi. Menulis. Vin mulai menulis, lembar kertas pertamanya lagi, sejak enam tahun lalu meniadakan mereka dalam kobaran api.

Di hari yang hening ini, aku ingat sesuatu. Aku membakar tulisan-tulisanku. Semua yang hanya mampu kuterjemahkan dalam bait-bait kata dan kalimat tentang perasaanku kepadamu. Banyak sekali, berlembar-lembar. Puisi, cerita, jurnal harian, diary, yang didalamnya tak pernah luput kutulis namamu.

Dalam sebuah bejana besi, dimana api berkobar di dalamnya. Kumasukkan berlembar-lembar kertas itu. yang kemudian bertransformasi menjadi abu. Hitam, legam, seperti yang kurasakan. Namun itu tak lantas memusnahkan kenangan dan apa yang tersisa dihatiku. Cinta, benci, kelewat kecewa tetap lekat tertinggal. Entah sebentar, entah lama, atau mungkin selamanya.

Awalnya kupikir, semua yang ingin kukatakan padamu akan ditiadakan waktu. Akan ditiadakan memori. Sejauh manakah kita dapat mengingat kenangan? Karena itu aku menulis. Aku tak ingin waktu meniadakan kita serta perasaan ini. Tapi kemudian aku merasa, apa yang kupikirkan dulu keliru. Waktu tetap meniadakan segalanya.

Suatu kali kau bilang kau perlu bukti tentang semua perasaanku. Kau meragukan perasaanku karena aku bahkan tak pernah mengungkapkanya.  Lalu kujawab, bahwa tak ada yang memang mampu kubahasakan secara lisan. Aku mengatakan padamu bahwa kau tak perlu khawatir karena semua yang kurasa telah kutuliskan rapi. Kata, kalimat, bait, sampai menjadi bundelan kertas-kertas semua ada. Kau terkejut, kau mendesakku memberikan bukti konkret itu secepatnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Lalu kemudian apa?, Kita mengakhirinya begitu saja, bahkan sebelum sempat memberikan bundel kertas itu.

Suatu sore, sambil berpegangan tangan kita memutuskan berpisah. Aku menggenggam tanganmu demikian erat. Sebuah upaya, agar airmataku tak tumpah. tapi sia-sia. Aku tak ingin menyesalkan keputusan kita. Setelahnya, kau mengantarku pulang, bahkan sampai di depan pintu rumah. Tapi tak kau ucapkan sepatah katapun lagi bahkan kau langsung melesat pergi tanpa pernah menatapku. kemudian yang kulakukan adalah mencari bundel kertas itu.

Di hari yang hening ini, aku tak tahu harus merasa bersyukur atau menyesal karena tak sempat memberikan tulisan-tulisan itu dan malah memusnahkannya. waktu telah meniadakan kita. Sekarang, kau, juga aku telah melanjutkan hidup, menempuh jalan kita masing-masing. 

Setelah enam tahun berlalu -Vin-

Vin menutup lembar pertama jurnalnya. Ia akan berdamai setelah enam tahun

Awal Maret 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar