Selasa, 05 Maret 2013

cerpen

yuup,
beberapa bulan lalu saya iseng mengikuti sebuah lomba penulisan cerpen. setelah melewati tahap edit sana-sini. saya kirim cerpen itu ke penyelenggara. dan sewaktu pengumuman tiba.jenggg jeng...
cerpen saya nggak menang (bahkan gak masuk nominasi untuk dibukukan. hiksss) tapi gak apa-apa. yang penting udah pernah nyoba. jadi kedepannya udah harus tahu apa yang harus dibenahi dalam mengolah karya fiksi tersebut.
nggak berpanjang-panjang lagi, 

saya posting cerpen tersebut buat kalian. nikmatilah jejak pena sang pengkhayal ini
happy reading..



KAU, SEPAKBOLA, DAN SEPOTONG CINTA
Oleh : Fitri yati
Mungkin dulu aku menyukaimu karena sepakbola, tapi aku menyukai sepakbola bukan karenamu, sungguh aku menyukai sepakbola jauh sebelum aku mengenalmu, jauh sebelum kita bertemu. Kata teman-temanmu kamu seorang football lover sekaligus pesepakbola yang berbakat. Sampai suatu waktu kita bertemu. Sampai suatu waktu kita berbagi cerita.
Ingatkah pertemuan kita pertama kali? disebuah ruangan kelas satu hari setelah tahun ajaran baru. Kau adalah siswa pindahan dari sebuah sekolah negeri ternama yang tak menerimaku dulu. Kau di drop out karena lebih sering berada di lapangan hijau daripada di ruangan kelas. Bagimu sepakbola segalanya, lebih penting daripada pendidikan formalmu.
Ingatkah kau saat pertama kali kita berbagi cerita? Kau takjub saat aku bisa mengimbangimu cerita  seputar sepakbola. Saat kulaporkan kemenangan Real Madrid atas seteru abadinya Barca tadi malam, saat kuceritakan perkembangan kualifikasi liga champion eropa, saat kucelotehkan betapa hebatnya pesepakbola favoritku Kaka mengolah si kulit bundar itu.
Kemudian kita lewati hari-hari dengan kita saling berlomba membahas betapa serunya laga tadi malam, berbagi cerita kepada teman lain bagaimana kekaguman kita pada AC Milan klub favorit kita yang ternyata sama. Saling tuding siapa yang terbaik antara Kaka dan Alessandro Nesta yang merupakan idolamu. Kau tawari aku menonton pertandinganmu suatu hari yang langsung kuiyakan dengan senang hati. Di lapangan hijau itu, aku tak lagi dapat melihat sosokmu yang kesulitan menangkap pelajaran matematika, yang terbata-bata saat hafalan Undang-Undang Dasar di depan kelas, yang selalu iseng melempariku kertas memohon jawaban saat ulangan berlangsung, dan yang terlalu malas mengerjakan PR. Sungguh tak dapat kulihat sosokmu yang demikian. Karena di lapangan hijau itu, kau menjelma menjadi seorang stopper handal, defender tangguh penjaga pertahanan dari serangan lawan, kau menjelma menjadi kapten tim yang bijak memimpin kawan menguasai arena pertandingan, kau benar-benar menjelma seperti Nesta yang kau idolakan dan aku jatuh cinta, jatuh cinta pada sosokmu.
Setelah itu tak ada lagi hari-hari menonton bola yang sepi di tengah malam. Kau menemaniku berdebat di telepon tengah malam buta, berteriak-teriak lewat sambungan  telepon saat pertandingan berjalan seru. Tak ada lagi kesepian menonton bola tengah malam itu. Dan selalu kutunggu pagi datang untuk menemuimu lagi di sekolah. Berbagi kabar baru tentang pertandingan tadi malam, saling berebut majalah Bola atau sekedar memamerkan bonus bigposter pesepakbola yang sama-sama kita kagumi.
Kemudian ribuan pertanyaan menyerbu benakku. Mengapa kau begitu baik terhadapku? mengapa kau marah jika aku tak datang menonton kau bertanding? mengapa kau dengan rela memberi koleksi marchindise bola yang mungkin susah kau dapatkan tanpa pernah kuminta? mengapa kau membutuhkanku menyemangatimu saat bertanding, mengapa kau membagi bahagia kemenangan hanya padaku? Apakah kau juga menyimpan cinta untuk sepotong hati ini? Lalu aku menyemai harapan. Harapan akan dirimu.
Kutunggu kepastian bahwa kau memang menginginkanku. Dan seperti khayalku, kau menyatakannya, bahwa kau cinta, bahwa kau ingin aku lebih dari sekedar berbagi cerita bola dan menonton pertandinganmu. Kau membutuhkanku lebih dari itu semua, untuk urusan hati katamu. Aku merasakan bahagia yang membuncah, karena kau sadar aku sepatutnya disisimu untuk berbagi rasa. Kau benar-benar menyimpan sepotong cinta untuk hati yang penuh harap ini. Masih seperti dulu, aku tetap tempat berbagi cerita sepakbola, masih jadi supporter setiamu. Kau menjadi Kaka yang lain yang benar-benar bisa kumiliki.
Hingga pada suatu waktu kau berubah. Karir sepakbolamu melesat cepat. Kau mulai terasa jauh. Kau menjadi begitu sibuk. Semuanya bisa kuterima karena kumengerti sepakbola adalah yang terpenting bagimu. Kemudian kau utarakan tentang pertemuan kita yang tidak bisa sesering dulu, kau utarakan kau harus fokus latihan, kau utarakan bahwa kau tak mungkin mengabaikan kesempatan untuk menjadi pesepakbola profesional di timnas, dan kau utarakan tak akan ada lagi kencan santai menonton di stadion sesering dulu. Kau tahu? sungguh aku bisa mengerti. Sejak awal aku terbiasa sendiri. Aku tak bergantung padamu untuk sesuatu yang remeh-temeh. Aku punya cinta yang tanpa pamrih padamu. Aku tulus berbagi kebersamaan denganmu. Tak ada niat sedikitpun memanfaatkanmu. Aku masih tetap menjadi penyemangatmu, dan mendukung cita-citamu karena sepenuhnya kusimpan sepotong cinta hanya untukmu. Jadi tak mengapa pengorbanan waktu kebersamaan kita selama ini.
Namun ternyata kita tak selamanya bisa mengatur jalan hidup kita. Kita mungkin hanya mampu berencana saja. Dan kenyataannya adalah kau sungguh semakin jauh, kau seperti menghilang dari kitaran hidupku, tak lagi terjangkauku. Hanya untuk berbicara dan berbagi cerita menjadi begitu sulit. Kau benar-benar menjauh. Tak lagi  peduli akanku. Benarkah sepenuhnya karena karir sepakbolamu? Bukankah karena hal lain? aku kembali disinggahi sepi. Kembali menonton bola sendiri ditengah malam buta. Kembali memasang alarm karena tak aka nada lagi teleponmu membangunkanku tengah malam. Tak ada lagi perdebatan siapa gerangan pencetak gol pertandingan nanti malam. Tak ada lagi rebutan majalah bola dan bigposter Fabregas dan Pirlo. Kau benar-benar menghilang. Kemanakah? Kemanakah kamu? aku terlalu khawatir, terlalu takut kehilanganmu.
Sungguh tak ingin kupercayai kenyataan, meski benar adanya. Bahwa kau terlalu sibuk menemani perempuan lain makan malam romantis di malam minggu, terlalu sibuk merangkai kata cinta dan puisi indah lewat puluhan BBM padanya, terlalu sibuk menelepon untuk sekedar menyanyikan sebuah lagu kesukaannya, terlalu sibuk mengantarnya jalan-jalan ke puncak, terlalu sibuk menemaninya shopping keluar masuk pusat perbelanjaan dan butik, terlalu sibuk mencari kado saat ulangtahunnya, dan kau terlalu sibuk memimpikannya dalam tidurmu hingga bahkan kau sulit terbangun tengah malam untuk menonton pertandingan tim favorit kita di laga final sekalipun.
Cinta yang lain itukah yang membuatmu lupa, yang membuatmu berpaling, yang membuatmu menjauh dan merasa jenuh? mungkin saja memang iya, mungkin memang benar kini hatimu terbelah dan sepotong cinta itu tak lagi utuh. Kau berubah tak sepenuhnya karena karir sepakbolamu.  Aku harus berdamai dengan kenyataan ini meski sulit kurasa. Sulit kuterima. Tetapi aku mafhum bahwa aku harus pergi. Aku harus mengahiri.
Seketika kau lupa bahwa kau pernah membutuhkanku lebih dari sekedar sepakbola, kau lupa janji untuk mementingkan pendidikan akademismu sama halnya dengan mementingkan urusan sepakbola. Kau lupakan mimpi dan harapan kita menonton bola di Stadion San Siro suatu saat kelak, berfoto bersama buffon suatu saat nanti, berburu marchindise World Cup selanjutnya. Kau lupakan semua hal tentang kebersamaan kita. Tentang aku.
Karena ternyata kau menginginkan seseorang yang bermanja-manja padamu, yang selalu membutuhkanmu dan bergantung padamu, yang cantik rupanya, yang lemah lembut tutur katanya, yang raut wajahnya terbengong-bengong lucu tak mengerti ketika kau bercerita tentang sepakbola, yang penuh perhatian padamu, dan cerewet padamu ketika kau lebih mementingkan urusan sepakbola. Bukan seseorang yang  terkesan tak perduli, yang selalu menolak diantarjemput karena merasa masih bisa sendiri, yang tak pernah ambil pusing pada lingkar hitam matanya karena keseringan begadang nonton bola. Kau tak ingin yang seperti itu. Tak ingin seseorang yang selalu membuatmu tegang urat saraf akibat berdebat soal formasi pemain terbaik, yang selalu membuatmu sirik karena mempunyai koleksi marchindise dan bigposter pemain yang lebih lengkap darimu. Kau tak lagi membutuhkan seseorang seperti itu. Seseorang yang tak ubahnya teman lelakimu.
Akhirnya kusadari aku harus undur diri dari hari-harimu. Meski sakit, meski kecewa, meski dikhianati, meski diabaikan, dan menangisi kau yang tak lagi punya cinta untuk hatiku aku memang tetap harus pergi darimu. Kumengerti bahwa aku sepenuhnya sudah dilupakan. Urusan hatimu kau serahkan pada orang lain itu. Dan aku harus berkemas dari tempat istimewa itu. Aku harus beranjak pergi.
Kutahu dan tak akan pernah kupungkiri bahwa aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada sosokmu. Sosok yang pernah membuatku merasa berarti, merasa dibutuhkan, merasa diistimewakan dan menerima sepotong cinta. Singkat memang, namun saat-saat kau berkenan mengisi malam-malam sepiku dulu, saat kau bersedia mendengar ceritaku, tetap kuanggap sebagai sesuatu yang berarti.
 Saat ini mungkin aku hanya bisa menontonmu bertanding dari layar kaca, membaca berita keberhasilan timmu di suratkabar atau mendengar cuplikan kisah asmaramu di Infotaiment karena sekarang pesepakbolapun tak ubahnya selebriti. Aku masih mengidolakanmu dan sekarang aku mungkin setara dengan fansmu yang lain yang berebut berfoto denganmu ketika bertemu langsung. Sepak bola selalu mengingatkanku tentangmu, tentang kau yang memiliki berjuta arti dihati ini, tentang sekerat kisah kita yang tak berhasil dulu. Sampai saat ini kau tetap representasi segala hal tentang cinta. Kau yang bersalah dulu telah kumaafkan. Namun, mampukah kau menjawab pertanyaan yang masih mengudara di rongga hatiku hingga saat ini?
Kapan aku bisa berpaling darimu?
                                                                                    Medan, Juni 2012







Tidak ada komentar:

Posting Komentar