yuup,
beberapa bulan lalu saya iseng mengikuti sebuah lomba penulisan cerpen. setelah melewati tahap edit sana-sini. saya kirim cerpen itu ke penyelenggara. dan sewaktu pengumuman tiba.jenggg jeng...
cerpen saya nggak menang (bahkan gak masuk nominasi untuk dibukukan. hiksss) tapi gak apa-apa. yang penting udah pernah nyoba. jadi kedepannya udah harus tahu apa yang harus dibenahi dalam mengolah karya fiksi tersebut.
nggak berpanjang-panjang lagi,
saya posting cerpen tersebut buat kalian. nikmatilah jejak pena sang pengkhayal ini
happy reading..
KAU,
SEPAKBOLA, DAN SEPOTONG CINTA
Oleh
: Fitri yati
Mungkin
dulu aku menyukaimu karena sepakbola, tapi aku menyukai sepakbola bukan
karenamu, sungguh aku menyukai sepakbola jauh sebelum aku mengenalmu, jauh sebelum
kita bertemu. Kata teman-temanmu kamu seorang football lover sekaligus pesepakbola yang berbakat. Sampai suatu
waktu kita bertemu. Sampai suatu waktu kita berbagi cerita.
Ingatkah
pertemuan kita pertama kali? disebuah ruangan kelas satu hari setelah tahun
ajaran baru. Kau adalah siswa pindahan dari sebuah sekolah negeri ternama yang
tak menerimaku dulu. Kau di drop out
karena lebih sering berada di lapangan hijau daripada di ruangan kelas. Bagimu sepakbola
segalanya, lebih penting daripada pendidikan formalmu.
Ingatkah
kau saat pertama kali kita berbagi cerita? Kau takjub saat aku bisa
mengimbangimu cerita seputar sepakbola.
Saat kulaporkan kemenangan Real Madrid atas seteru abadinya Barca tadi malam,
saat kuceritakan perkembangan kualifikasi liga champion eropa, saat kucelotehkan
betapa hebatnya pesepakbola favoritku Kaka mengolah si kulit bundar itu.
Kemudian
kita lewati hari-hari dengan kita saling berlomba membahas betapa serunya laga
tadi malam, berbagi cerita kepada teman lain bagaimana kekaguman kita pada AC
Milan klub favorit kita yang ternyata sama. Saling tuding siapa yang terbaik
antara Kaka dan Alessandro Nesta yang merupakan idolamu. Kau tawari aku menonton
pertandinganmu suatu hari yang langsung kuiyakan dengan senang hati. Di
lapangan hijau itu, aku tak lagi dapat melihat sosokmu yang kesulitan menangkap
pelajaran matematika, yang terbata-bata saat hafalan Undang-Undang Dasar di
depan kelas, yang selalu iseng melempariku kertas memohon jawaban saat ulangan
berlangsung, dan yang terlalu malas mengerjakan PR. Sungguh tak dapat kulihat
sosokmu yang demikian. Karena di lapangan hijau itu, kau menjelma menjadi seorang
stopper handal, defender tangguh penjaga pertahanan dari serangan lawan, kau
menjelma menjadi kapten tim yang bijak memimpin kawan menguasai arena
pertandingan, kau benar-benar menjelma seperti Nesta yang kau idolakan dan aku
jatuh cinta, jatuh cinta pada sosokmu.
Setelah
itu tak ada lagi hari-hari menonton bola yang sepi di tengah malam. Kau menemaniku
berdebat di telepon tengah malam buta, berteriak-teriak lewat sambungan telepon saat pertandingan berjalan seru. Tak ada
lagi kesepian menonton bola tengah malam itu. Dan selalu kutunggu pagi datang
untuk menemuimu lagi di sekolah. Berbagi kabar baru tentang pertandingan tadi
malam, saling berebut majalah Bola atau sekedar memamerkan bonus bigposter pesepakbola yang sama-sama
kita kagumi.
Kemudian
ribuan pertanyaan menyerbu benakku. Mengapa kau begitu baik terhadapku? mengapa
kau marah jika aku tak datang menonton kau bertanding? mengapa kau dengan rela
memberi koleksi marchindise bola yang
mungkin susah kau dapatkan tanpa pernah kuminta? mengapa kau membutuhkanku
menyemangatimu saat bertanding, mengapa kau membagi bahagia kemenangan hanya
padaku? Apakah kau juga menyimpan cinta untuk sepotong hati ini? Lalu aku menyemai
harapan. Harapan akan dirimu.
Kutunggu
kepastian bahwa kau memang menginginkanku. Dan seperti khayalku, kau menyatakannya,
bahwa kau cinta, bahwa kau ingin aku lebih dari sekedar berbagi cerita bola dan
menonton pertandinganmu. Kau membutuhkanku lebih dari itu semua, untuk urusan
hati katamu. Aku merasakan bahagia yang membuncah, karena kau sadar aku
sepatutnya disisimu untuk berbagi rasa. Kau benar-benar menyimpan sepotong
cinta untuk hati yang penuh harap ini. Masih seperti dulu, aku tetap tempat
berbagi cerita sepakbola, masih jadi supporter setiamu. Kau menjadi Kaka yang
lain yang benar-benar bisa kumiliki.
Hingga
pada suatu waktu kau berubah. Karir sepakbolamu melesat cepat. Kau mulai terasa
jauh. Kau menjadi begitu sibuk. Semuanya bisa kuterima karena kumengerti sepakbola
adalah yang terpenting bagimu. Kemudian kau utarakan tentang pertemuan kita
yang tidak bisa sesering dulu, kau utarakan kau harus fokus latihan, kau
utarakan bahwa kau tak mungkin mengabaikan kesempatan untuk menjadi pesepakbola
profesional di timnas, dan kau utarakan tak akan ada lagi kencan santai
menonton di stadion sesering dulu. Kau tahu? sungguh aku bisa mengerti. Sejak
awal aku terbiasa sendiri. Aku tak bergantung padamu untuk sesuatu yang remeh-temeh.
Aku punya cinta yang tanpa pamrih padamu. Aku tulus berbagi kebersamaan
denganmu. Tak ada niat sedikitpun memanfaatkanmu. Aku masih tetap menjadi
penyemangatmu, dan mendukung cita-citamu karena sepenuhnya kusimpan sepotong
cinta hanya untukmu. Jadi tak mengapa pengorbanan waktu kebersamaan kita selama
ini.
Namun
ternyata kita tak selamanya bisa mengatur jalan hidup kita. Kita mungkin hanya
mampu berencana saja. Dan kenyataannya adalah kau sungguh semakin jauh, kau seperti
menghilang dari kitaran hidupku, tak lagi terjangkauku. Hanya untuk berbicara
dan berbagi cerita menjadi begitu sulit. Kau benar-benar menjauh. Tak lagi peduli akanku. Benarkah sepenuhnya karena
karir sepakbolamu? Bukankah karena hal lain? aku kembali disinggahi sepi. Kembali
menonton bola sendiri ditengah malam buta. Kembali memasang alarm karena tak
aka nada lagi teleponmu membangunkanku tengah malam. Tak ada lagi perdebatan
siapa gerangan pencetak gol pertandingan nanti malam. Tak ada lagi rebutan
majalah bola dan bigposter Fabregas
dan Pirlo. Kau benar-benar menghilang. Kemanakah? Kemanakah kamu? aku terlalu
khawatir, terlalu takut kehilanganmu.
Sungguh
tak ingin kupercayai kenyataan, meski benar adanya. Bahwa kau terlalu sibuk
menemani perempuan lain makan malam romantis di malam minggu, terlalu sibuk merangkai
kata cinta dan puisi indah lewat puluhan BBM padanya, terlalu sibuk menelepon
untuk sekedar menyanyikan sebuah lagu kesukaannya, terlalu sibuk mengantarnya
jalan-jalan ke puncak, terlalu sibuk menemaninya shopping keluar masuk pusat perbelanjaan dan butik, terlalu sibuk
mencari kado saat ulangtahunnya, dan kau terlalu sibuk memimpikannya dalam
tidurmu hingga bahkan kau sulit terbangun tengah malam untuk menonton
pertandingan tim favorit kita di laga final sekalipun.
Cinta
yang lain itukah yang membuatmu lupa, yang membuatmu berpaling, yang membuatmu
menjauh dan merasa jenuh? mungkin saja memang iya, mungkin memang benar kini
hatimu terbelah dan sepotong cinta itu tak lagi utuh. Kau berubah tak
sepenuhnya karena karir sepakbolamu. Aku
harus berdamai dengan kenyataan ini meski sulit kurasa. Sulit kuterima. Tetapi
aku mafhum bahwa aku harus pergi. Aku harus mengahiri.
Seketika
kau lupa bahwa kau pernah membutuhkanku lebih dari sekedar sepakbola, kau lupa
janji untuk mementingkan pendidikan akademismu sama halnya dengan mementingkan
urusan sepakbola. Kau lupakan mimpi dan harapan kita menonton bola di Stadion San Siro suatu saat kelak, berfoto
bersama buffon suatu saat nanti, berburu marchindise World Cup selanjutnya. Kau
lupakan semua hal tentang kebersamaan kita. Tentang aku.
Karena
ternyata kau menginginkan seseorang yang bermanja-manja padamu, yang selalu
membutuhkanmu dan bergantung padamu, yang cantik rupanya, yang lemah lembut
tutur katanya, yang raut wajahnya terbengong-bengong lucu tak mengerti ketika
kau bercerita tentang sepakbola, yang penuh perhatian padamu, dan cerewet
padamu ketika kau lebih mementingkan urusan sepakbola. Bukan seseorang yang terkesan tak perduli, yang selalu menolak
diantarjemput karena merasa masih bisa sendiri, yang tak pernah ambil pusing
pada lingkar hitam matanya karena keseringan begadang nonton bola. Kau tak
ingin yang seperti itu. Tak ingin seseorang yang selalu membuatmu tegang urat
saraf akibat berdebat soal formasi pemain terbaik, yang selalu membuatmu sirik
karena mempunyai koleksi marchindise dan
bigposter pemain yang lebih lengkap
darimu. Kau tak lagi membutuhkan seseorang seperti itu. Seseorang yang tak
ubahnya teman lelakimu.
Akhirnya
kusadari aku harus undur diri dari hari-harimu. Meski sakit, meski kecewa,
meski dikhianati, meski diabaikan, dan menangisi kau yang tak lagi punya cinta
untuk hatiku aku memang tetap harus pergi darimu. Kumengerti bahwa aku
sepenuhnya sudah dilupakan. Urusan hatimu kau serahkan pada orang lain itu. Dan
aku harus berkemas dari tempat istimewa itu. Aku harus beranjak pergi.
Kutahu
dan tak akan pernah kupungkiri bahwa aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada
sosokmu. Sosok yang pernah membuatku merasa berarti, merasa dibutuhkan, merasa
diistimewakan dan menerima sepotong cinta. Singkat memang, namun saat-saat kau
berkenan mengisi malam-malam sepiku dulu, saat kau bersedia mendengar ceritaku,
tetap kuanggap sebagai sesuatu yang berarti.
Saat ini mungkin aku hanya bisa menontonmu
bertanding dari layar kaca, membaca berita keberhasilan timmu di suratkabar
atau mendengar cuplikan kisah asmaramu di Infotaiment karena sekarang
pesepakbolapun tak ubahnya selebriti. Aku masih mengidolakanmu dan sekarang aku
mungkin setara dengan fansmu yang lain yang berebut berfoto denganmu ketika
bertemu langsung. Sepak bola selalu mengingatkanku tentangmu, tentang kau yang
memiliki berjuta arti dihati ini, tentang sekerat kisah kita yang tak berhasil
dulu. Sampai saat ini kau tetap representasi segala hal tentang cinta. Kau yang
bersalah dulu telah kumaafkan. Namun, mampukah kau menjawab pertanyaan yang
masih mengudara di rongga hatiku hingga saat ini?
Kapan
aku bisa berpaling darimu?
Medan,
Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar