Kamis, 27 Maret 2014

Simpati yang Kaku, Empati yang Tanggung

Bagaimana rasanya simpati yang kaku? empati yang tanggung? 
Seringkali kata-kata itu menyelinap dalam pikirianku, merasuki celah-celah jiwaku. Aku cemas terhadap keadaan yang kulihat langsung dengan mata kepalaku sendiri, namun hanya sampai batas itu. Batas kecemasan. Sampai batas yang kusebut tadi, simpati yang kaku, empati yang tanggung. 

Kadang aku ingin segera berbuat dan bertindak seperti seorang teman yang langsung terenyuh dan menitikkan airmata melihat anak-anak yang seharusnya sekolah tapi malah berdagang asongan, menyemir sepatu. Temanku ini tanpa segan-segan merogoh koceknya mengulurkan lembar uang pada mereka. Sementara aku malah menegur temanku ini bahwa ia baru saja mengajarkan budaya meminta-minta pada mereka. Apakah aku salah? Apakah ada yang salah dengan perasaan yang serba tanggung ini?

Kalau melihat tunawisma di jalanan, anak-anak pengamen dilampu merah, aku marah. tapi aku tak tahu marah pada siapa? pada dirikusendirikah? pemerintahkah? pada Sang Pemilik Kehidupankah? kenapa mereka seolah tak punya pilihan akan hidup yang lebih baik? kenapa aku hanya mampu memberi lembaran uang yg mungkin tak seberapa atas lagu standar yang mereka senandungkan di pintu-pintu angkot?

Bagaimana rasanya punya simpati yang kaku? empati yang tanggung? merasa demikian cemas pada keadaan orang-orang demikian, namun tidak mampu dan tidak tahu harus berbuat apa?

Fitria Tee


Tidak ada komentar:

Posting Komentar